ANDAI AKU BISA

DISIPLIN DIRI

Kala kita bodoh kita ingin menguasai dunia

Kala kita pintar dan bijak kita ingin menguasai diri kita sendiri.


Kutipan di atas saya contek dari salah satu buku favorit saya, karya Rhenald Kasali yang berjudul CHANGE, tentang manajemen perubahan. Buku setebal 456 halaman ini sering menemani saya, ke mana saya pergi. Hampir 75 persen halamannya saya baca (sambil lalu) dalam kereta Prameks saat saya bolak balik mengikuti pendidikan sertifikasi di Universitas Negeri Yogyakarta. Banyak hal yang menginspirasi saya sejak membaca buku itu, meski ide-ide yang muncul timbul tenggelam dalam otak saya.

Banyak juga rekan-rekan (pendidik) yang merasa aneh ketika saya membaca buku ini, karena dipikir ini bukunya orang “bisnis”. Namun kala saya membacanya, banyak hal sebenarnya dari buku ini yang bisa diterapkan dalam kehidupan bidang apa saja termasuk lingkungan pendidikan (Nggak promosi lho…).

Ketika membacanya saya merasa “tersinggung”, karena banyak kebiasaan-kebiasaan saya yang menghambat proses “perubahan” dalam diri saya ternyata pas dengan apa yang ditulis dalam buku ini.

Kali ini ketika saya bolak-balik lagi saya jadi tertarik dengan kutipan di awal tulisan ini. Intinya saya sedang ingin belajar bagaimana kita menjadi “bijak” agar bisa memenej diri kita dengan baik. Ternyata hal yang satu ini sulit sekali kita (saya) lakukan meski secara teori saya dulu pernah kuliah manajemen.

Tulisan ini saya maksudkan sebagai motivasi untuk diri saya sendiri, syukur-syukur orang lain bisa memanfaatkan hal-hal yang sesuai. Hitung-hitung ini sebagai salah satu sarana “TERAPI DIRI” berkaitan dengan kebiasaan jelek saya yang susah dapat ide kalau belum “dikejar-kejar deadline” alias “kepepet”. Kuncinya adalah DISIPLIN DIRI. Dan itulah satu hal yang bisa saya ambil dari buku tersebut. Sebagian isinya pun saya pernah dengar juga dari ceramahnya Aa Gym beberapa tahun lalu, kalau tidak salah beliau menyebutnya 3M (mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang).

Hampir semua perubahan besar di dunia berhasil dijalankan oleh pemimpin besar. Dan jika dilihat dari lembar-lembar sejarah para pelaku perubahan (change maker), memiliki sesuatu yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain adalah DISIPLIN DIRI. Mereka sepakat sebelum memimpin orang lain mereka harus memimpin diri sendiri. Dalam buku tersebut diberikan tips untuk membangun disiplin diri yang bersumber dari karya John C. Maxwell (1993). Developing the Leader, Within You sebagai berikut:


Mulailah dengan diri sendiri (Start With Yourself).

Para pemimpin besar dunia memulai dengan dirinya sendiri, maka kita pun harus demikian. Prinsipnya selalu melakukan intropeksi dan menuntut diri sendiri sebelum menuntut orang lain.


Jangan berorientasi pada pesaing, berorientasilah pada diri kita sendiri

Selama kita berorientasi pada pesaing, kita akan cepat panik dan tidak melakukan apa-apa selain menunjukkan pada orang lain, bahwa pesaing kita “buruk rupa”. Dengan kata lain, kita ingin memanipulasi “pendapat”. Kita kelihatan hebat kalau orang lain terlihat bodoh. Ini tidak dapat dibenarkan, sebab ketika pesaing kita hilang maka yang terlihat bodoh diri kita sendiri.


Jangan menunda, lakukan sedini mungkin (Start Early)

Hampir sebagian dari kita (termasuk saya) mempunyai kebiasaan buruk, belajar di hari terakhir sebelum kita ujian dan berpikir keras sesaat sebelum keputusan diambil. Di Meksiko, orang-orang berperangai buruk dikenal sebagai penganut Maniana (besok) Principle “Kalau bisa dipikirkan besok, mengapa harus dikerjakan hari ini?”. Nyatanya hidup mereka tak pernah sejahtera. Hal serupa juga banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita. Segala sesuatu tidak dipikirkan sedini mungkin, melainkan baru sibuk kalau musibah terjadi. Akibatnya hasil yang dicapai tidak pernah optimal, dan banyak menghadapi kegagalan dan frustasi. Manusia yang cinta perubahan tak boleh menunda-nunda. Mereka harus menganut cara kerja orang besar: kerja keras, manajemen waktu, persisten (tahan uji), bertanggungjawab, dan bersikap positif, apapun juga situasinya.


Mulailah dari hal-hal kecil (Start Small)

Hal-hal kecil yang kita kerjakan sekarang, akan menjadi pegangan kita di hari esok. Kata orang bijak, langkah-langkah kecil akan menentukan langkah-langkah besar. Mulailah dengan rencana-rencana kecil, sekecil apapun yang bisa anda kerjakan, namun membuat anda dan sekeliling anda tumbuh. Perubahan tidak dapat dilakukan seketika menjadi lompatan besar, melainkan harus dimulai dengan hal-hal kecil di sekitar kita.


Mulailah sekarang juga (Start Now)

Sekarang, bukan nanti selesai rapat, kalau semua sudah pulang, kalau sudah pensiun, dan seterusnya. Perubahan harus dimulai dari anda sekarang juga.

SEMOGA BERMANFAAT.

Dari Sahabat untuk Sahabat (4)

JANGAN TUNDA SAMPAI BESOK

APA YANG BISA KAMU LAKUKAN HARI INI

Awal Juli setelah ujian semester yang harus saya tempuh yang lalu sebenarnya saya sudah berkomitmen untuk kembali lagi menjumpai sobat-sobat saya di dunia maya ini…Tapi kenyataan ternyata jauh di angan-angan. Meski saya pernah kuliah manajemen, ternyata saya sulit menjadi manajer bagi diri saya sendiri.

Ujian semester berlalu ternyata masih harus menempuh ujian kompetensi dan peer teaching. Meski persiapan waktu longgar ternyata saya hanya bisa berencana dan berharap semua berjalan lancar.

Kebiasaan saya yang baru dapat ide selalu “tepat waktu” (alias mepet-mepet") ternyata membawa “karma” tersendiri bagi saya…ternyata banyak kejadian-kejadian tak terduga sehingga memecah konsentrasi dan persiapan ujian saya.

Materi-materi yang saya kumpulkan lama ternyata hanya sempat saya buka sambil lalu pada malam menjelang ujian tulis berlangsung. Itupun ada "pekerjaan" sambilan jadi “operator” telpon dan email meneruskan update info materi terbaru dari para rekan.

Alhamdulilah meski persiapan alakadarnya dan tak henti-henti memanjatkan doa dan memohon ridhoNya saya bisa mengerjakan soal dengan lancar. Perkara hasilnya juga saya serahkan sepenuhnya kepadaNya.

Kebiasaan saya yang lain “perfeksionis” (kata orang lain lho…) juga merepotkan saya. Perangkat pembelajaran yang saya persiapkan lama tidak saya print-print, karena saya setiap saat selalu berpikir ada yang kurang sreg. Dan baru saya selesaikan malam setelah ujian tulis berlangsung. Itupun prediksi saya keliru. Perkiraan waktu saya bisa selesaikan sampai 2 – 3 jam ternyata baru selesai pagi hari menjelang keberangkatan saya ke Yogya karena dua printer yang sehari-harinya lancar ngadat tanpa sebab yang jelas…

Akhirnya tanpa tidur semalam, tergesa-gesa ke stasiun Purwosari Solo pukul 05.30 WIB untuk mengikuti ujian praktek pembelajaran (peer teaching). Dan barangkali sudah menjadi nasib saya, karena absen saya nomor 9 saya harus rela menunggu giliran maju pukul 15.30 WIB.

Pengalaman kepepet itulah yang terpaksa saya harus mohon maaf utuk kesekian kalinya pada sahabat-sahabat saya yang setia memotivasi saya dengan tanda persahabatannya berupa award-award yang sangat indah. Dengan rasa “pekewuh” saya baru pasang award-award indah tersebut saat ini.

Award yang kedua adalah dari mbak Arum Sekartaji sejak awal Juni, saudaraku sekampung halaman yang sangat setia menengok rumah saya meski kadang-kadang saya tinggalkan suwung. Tema awardnya berupa ajakan simpatik untuk mencintai bumi dengan cara merawat dan menjaganya agar udara bersih segar, hasil laut melimpah, hutan (termasuk paru-paru bumi) tidak rusak.


Award berikutnya adalah dari sedulur sinorowedi, adik saya tunggal guru yang dengan setia memotivasi saya. Kali ini awardnya luar biasa dia peroleh dari TKB (Tukang Kompor Blog). Ketika diberi tahu saya pikir ini adalah award tanda persahabatan seperti yang lainnya. Tapi ketika mau ngambil… We ladalahnyindir kok pas banget. Awalnya sempat tersinggung sejenak. Berikutnya saya malah tertawa. Gimana tidak, kriteria yang dapat award adalah

LEBIH DISARANKEN BAGI NYANG SERING NGAPDET BLOG SETAHUN SEKALI kek mo sungkeman idul Fithri, malu-maluin aja ....

Award yang berikutnya dari rekan seprofesi yang sangat luar biasa perkembangan blognya yaitu Bang Iwan. Beliau mendedikasikan award dari para sahabat untuk rekan-rekan seprofesi termasuk saya. Dan sungguh suatu kehormatan mendapatkan award dari beliau.

Award yang terakhir adalah dari mbak Reny, seorang ibu yang luar biasa karena di antara kesibukan beliau masih bisa aktif ngeblog dan awar ini merupakan "bancakan" atas slup-slupan rumah barunya. Semoga saja saya bisa ketularan mbak yang satu ini.

Semua award pemberian rekan di atas saya dedikasikan untuk para sahabat yang berkunjung ke blog ini. Bagi yang belum punya koleksi silahkan diambil dan bagi yang sudah penuh rumahnya dengan award, anggap saja ini sebagai tanda peringatan dari saya yang sering kepet karena belum mahir mengatur waktu. Semoga para sahabat tidak ketularan sifat jelek saya ini. Amiin.


Info Program Sertifikasi Guru

Materi Paedagogik Transformatif dari Bapak Faizin

Buat rekan-rekan program Sertifikasi Guru Matematika UNY:

Hari Kamis, 16 Juli 2009 saya mendapat amanah untuk menyampaikan materi ini (hanya Paedagogik Transformatif) kepada rekan-rekan peserta Sertifikasi Guru Jalur Pendidikan. Berhubung beberapa hari ini saya "sibuk" di rumah sakit dan jaringan internet saya "byar pet" saya kesulitan upload hingga beberapa teman yang emailnya ada pada saya saya kirimkan lewat email.

Kiriman naskah secara lengkap silahkan ambil di sini.


(R)SBI = (Rintisan)Sekolah "BERTARIF" Internasional...?

-->
Di saat kita harus prihatin memikirkan nasib siswa miskin yang lambat belajar masih sulit mendapatkan pendidikan yang layak , ternyata banyak orangtua rela merogoh kocek yang tidak sedikit agar anaknya bisa masuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Banyak orangtua sendiri sebenarnya tidak paham betul apa itu SBI. Barangkali namanya yang “kebarat-baratan” inilah yang menarik minat banyak orangtua berduit untuk menjaga gengsi mereka.
(R)SBI sebenarnya dirancang pemerintah untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di era globalisasi ini. Proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Tidak tanggung-tanggung pemerintah sudah mengeluarkan dana ratusan milyar untuk mensukseskan program yang prestisius ini. Khabarnya dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Untuk setiap sekolah pada masa rintisan saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah tiap sekolah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Kriteria siswa yang bisa masuk RSBI ini pun juga tidak sembarangan. Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Sayangnya dalam praktek ternyata aturan ini juga tidak ketat betul. Nyatanya masih ada saja beberapa siswa yang bisa “nyelonong” masuk, meski mereka tidak memenuhi syarat.
Jumlah siswa antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia). Karena dianggap bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Oleh karenanya, siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Sedangkan proses belajar mengajar dan kurikulumnya untuk “berstandar nasional” sampai saat ini sebenarnya masih “kabur”. SBI disebutkan berkurikulum standar nasional Plus. Plusnya sendiri merupakan materi pengembangan yang diadopsi dari standar pendidikan dalam dan luar yang diyakini telah memiliki reputasi mutu dan diakui secara internasional.
Apakah SBI mampu menjawab ketertinggalan pendidikan kita untuk bertaraf internasional? Tunggu dulu. Barangkali kalau yang dimaksud di sini TARIF-nya berstandar internasional, banyak orang akan mengamini. Tetapi soal mutu proses pembelajaran siapa yang menjamin…? Konsep SBI sendiri barangkali bagus, sayangnya kenyataan dan harapan sering bertolak belakang. Dan ini sepertinya sudah menjadi ciri khas dunia pendidikan di negeri kita. Banyak kebijakan yang ambisius dan muluk-muluk tapi implementasinya asal jalan.
Indikator standar nasional rasa-rasanya tidak cukup terwakili dengan hanya gedung bagus, fasilitas lengkap, tapi juga mutu sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana di lapangan. Dengan kriteria siswa yang demikian ideal sudah seharusnya RSBI juga didukung oleh SDM yang ideal termasuk guru-gurunya. Sayangnya di lapangan harapan itu terasa “njomplang”, manakala guru-gurunya masih “seperti yang dulu”.
Seperti diketahui bahwa mayoritas sekolah yang masuk kategori R/SBI adalah sekolah-sekolah “senior” dengan embel-embel “favorit” yang notabene inputnya secara akademik juga merupakan “the best student” dengan standar kecerdasan tertentu dari jenjang sebelumnya. Selama ini ada beberapa (oknum) guru yang sudah merasa nyaman dengan mengajar siswa-siswa yang unggul secara akademik, sehingga mereka lupa untuk sekedar meng”upgrade” ilmunya. Tidak jarang banyak guru-guru dengan “the best student” ini banyak yang belum “melek” tehnologi, sementara siswa-siswanya karena mayoritas anak orang berada, tehnologi sudah menjadi santapan sehari-hari.
Pernah kenalan saya mengeluh ketika anaknya yang sekolah di SMA SBI mendapat “PR” dari guru Biologi di sekolahnya karena sang guru mendapat pertanyaan tak terduga dari seorang murid tentang transeksual (pergantia jenis kelamin). Karena tidak tahu sang guru meminta anak kenalan saya tadi yang kebetulan dokter untuk membuatkan makalah tentang seluk beluk transeksual. Si anak, karena beban tugasnya sudah banyak dan itu bukan tugas pokok mata pelajaran, akhirnya PR tersebut diserahkan orangtuanya. Ujung-ujungnya orangtuanya yang mengeluh karena merasa anaknya dimanfaatkan sang guru.
Pengalaman lain ketika saya bertemu dengan rekan yang kebetulan mengajar di SBI. Malah rekan saya ini mengeluh karena kesulitan mengolah materi-materi yang relevan karena minimnya referensi. Padahal sepengetahuan saya untuk sumber-sumber referensi macam matapelajaran matematika justru banyak bertebaran di internet lengkap dengan Lesson Plan (RPP)nya. Ternyata, selama 2 tahun mulai mengajar sejak sekolahnya berstatus RSBI, rekan saya ini sama sekali belum pernah nyentuh yang namanya internet, padahal di ruang guru difasilitasi internet.
Memang ada satu dua orang guru yang tetap berusaha “smart” dengan selalu belajar dan bertanya, tetapi sayang mereka tenggelam oleh rekan-rekannya yang kurang minat belajar tapi lebih berminat menambah penghasilan.
Kendala berikutnya soal penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini ternyata banyak menjadi kendala ketika guru mengajar di lapangan. Guru-guru Bahasa Inggris di sekolah “favorit” saja kadang masih belepotan ngomong bahasa Inggris, apalagi guru mata pelajaran lain. Bahkan banyak guru dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris ini kalah fasih dengan muridnya. Menggunakan bahasa Indonesia saja kadang muridnya tidak paham, apalagi dengan bahasa Inggris yang pas-pasan.
Selain itu adanya asumsi yang keliru, bahwa RSBI selalu identik dengan penggunaan media yang canggih (Laptop, LCD, VCD). Padahal dari video youtube yang pernah saya temukan di dunia maya ini negara-negara maju ini tidak melulu menggunakan media canggih sebagai alat belajarnya. Nyatanya mereka unggul juga secara mutu.
Sebagai ilustrasi untuk mengajarkan cara membuktikan Teorema Pythagoras di salah satu jurnal NCTM murid diajak memanfaatkan permen yang ditata dalam 2 kotak karton yang pada masing-masing sisi siku-siku segitiga. Dengan memindahkan permen ke kotak pada sisi miring, maka siswa sudah diarahkan membuktikan Teorema Pythagoras itu.
Menurut hemat saya program RSBI lebih mengutamakan alat daripada proses pembelajarannya. Dan lagi-lagi ini menjadi ciri khas di Indonesia. Sementara sekolah-sekolah yang sudah “sesak nafas” dibiarkan mati pelan-pelan, terbukti sekolah-sekolah macam RSBI ini malah justru disuplai dana besar-besaran. Tetapi sayang ibarat gadis bersolek penggunaan dananya hanya untuk “mempertebal bedak di muka” sehingga inner beautynya belum nampak. Banyak (kepala) sekolah yang memanfaatkan dana ini untuk pengembangan fisik sekolah daripada meningkatkan profesionalisme guru-gurunya. Dan sayang sekali, dengan tambahan honor yang lumayan banyak guru hanya “manut” dan ikut “mengalir” begitu saja, yang penting kocek terisi.
Mengingat banyaknya ketimpangan antara harapan dan kenyataan di lapangan, sudah semestinya program yang “sok kebarat-baratan” ini perlu ditinjau dan dievaluasi kembali. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar mampu bersaing dengan negara lain tidak berarti segala-galanya harus berkiblat ke negara asing. Saya pribadi justru makin khawatir ini akan bertolak belakang dengan filosofi pendidikan yang telah dirintis pahlawan pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Kekhawatiran lain juga rasa nasionalisme generasi penerus bangsa akan semakin hilang dan tidak peduli pada nasib bangsa sendiri. Karena dengan pengkotak-kotakan pendidikan dengan berbagai macam embel-embel standar ini akan justru makin menegaskan paham diskriminatif dan eksklusif, sehingga makin menjauhkan usaha pemerataan pendidikan yang menjadi cita-cita anak bangsa.

DENGARKAN CURHATKU

AKU INGIN KEMBALI...!

Hampir dua bulan lamanya saya meninggalkan aktifitas ngeblog karena berbagai kesibukan yang menyita waktu saya (lebih tepatnya tidak bisa membagi waktu …). Setelah sekian lama meninggalkan aktivitas ngeblog ternyata ada rasa kehilangan yang mendalam. Meski di antara beberapa kegiatan ternyata magnet Facebook (FB) sulit saya lepaskan tarikannya, dan saya sebenarnya masih sering berjumpa dengan para sobat blogger di dunia lain itu. Jujur setelah sekian waktu mengenal dua dunia itu (blog dan FB), namun sungguh berbeda rasanya menjadi facebooker dan menjadi blogger. Ada perbedaan mendasar di sana yang saya rasakan.


Secara pribadi saya mendapat banyak manfaat dari FB, karena dari situlah saya bisa membolak-balik lembaran memori saya sekian tahun silam. Tidak sengaja melalui FB saya menemukan banyak teman-teman saya sewaktu SMA dan beberapa teman kuliah yang saat ini telah menjadi “orang” (emang dulu apaan ya, kalau bukan orang…).


Di antara teman-teman saya (yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan) juga banyak yang memberi apresiasi tentang kegiatan saya ini (ngeblog dan nge-FB). Ada yang menganggap saya “guru sukses” hanya karena saya aktif melototin komputer dan ngenet (emang apa ya ukuran sukses itu …). Barangkali dalam pikiran teman-teman saya ini sosok guru adalah masih sama dengan memori ketika saya dan teman-teman di sekolah dulu… pakai PSH abu-abu (kucel pula) plus gaptek. Atau entah apa lagi…


Saya katakan bahwa sebenarnya banyak guru saat ini punya kesempatan dar segi waktu dan biaya untuk mengenal teknologi (ngenet). Buktinya banyak rekan-rekan saya yang sudah jadi blogger ternama, bukan blogger-bloggeran seerti saya. Contohnya Pak Sawali. Siapa yang tidak kenal beliau sebagai blogger ternama, pasti kurang gaul (di blog). Hanya masalahnya, banyak guru-guru lain yang sebenarnya punya kesempatan dan dana lebih belum punya komitmen kuat untuk belajar dunia di luar tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing meskipun sangat menunjang tupoksinya sehari-hari yaitu Teknologi Informasi (TI).


Dengan FB juga saya bisa merayu teman-teman (guru atau bukan) untuk bergabung dan tidak “alergi” terhadap TI. Ternyata memang banyak yang terpengaruh rayuan saya ini… Artinya sebenarnya banyak manfaat yang kita peroleh dari komunitas jejaring sosial ini asal kita bisa menggunakannya dengan baik.Tetapi setelah sekian waktu mengenal FB saya merasakan ada yang berbeda dan membuat saya rindu akan aktivitas ngeblog.


Saya semakin tersadar ketika join di Sekolah Menulis Online asuhan bang Jonru Ginting, saya tidak sengaja masuk web beliau dan menemukan sebuah artikel “Bahaya Facebook bagi Penulis dan Blogger”. Dalam tulisan itu beliau memaparkan pengalamannya bahwa magnet dalam status message bisa “berbahaya” karena sebenarnya satu kalimat dalam Wall tersebut bisa dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang utuh. Saya pasti mengiyakan 100 % akan pernyataan beliau ini.


Absen saya dari aktivitas ngeblog memang awalnya karena benar-2 tidak bisa membagi waktu. Namun ketika tugas agak berkurang saya juga belum “ngeh” menengok blog saya. Saya justru asyik menulis apa yang saya pikir dan rasakan di status Wall FB yang hanya satu atau dua kalimat.


Sebenarnya FB memang bukan suatu alasan kita meninggalkan aktivitas ngeblog karena ada note untuk menshare tulisan kita dari blog. Tetapi meski saya pernah belajar manajemen ternyata saya belum mampu memadukan keduanya dengan baik. Berbeda dengan blogger-2 senior yang sudah sangat pandai mensinergikan keduanya dengan baik yang membuat saya “iri” karena sangat produktif menulis dan menshare tulisannya di FB.


Meskipun dalam waktu dekat ini saya juga masih harus menyiapkan dua ujian (peer teaching dan uji kompetensi) yang harus saya tempuh, ditambah persiapan mengajar tahun ajaran baru, melalui posting perdana saya di bulan Juli ini saya rasanya tidak sabar untuk kembali ke “jalan yang benar” tanpa meninggalkan teman-teman saya di FB. Semoga pertemuan saya dengan pak Ahmad Tohari dan Pak Sawali dalam seminar Nasional AGUPENA kemarin dapat menularkan “virus” semangat yang menjadikan saya tidak hanya menjadi pembaca yang baik tetapi menjadi PEMBACA YANG BERPROSES dengan menulis. Saya mohon doa dan dukungan dari para sahabat. Amiin.



Maafkanlah ... Aku Hanya Seorang Guru Biasa.

CURHAT UNTUK SAHABAT

Sobat yang baik,
Pertamakali saya sampaikan terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga untuk para sahabat yang telah menyempatkan diri baik sengaja maupun tidak sengaja mengunjungi blog saya ini. Saya yakin niat para sahabat sungguh mulia dengan saling berkunjung adalah sarana memotivasi saya sebagai seorang guru biasa yang selalu ingin belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pada kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk para sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, beberapa waktu ini saya belum sempat mengunjungi para sahabat karena berbagai hal baik yang terencana maupun yang tak terencana sehingga saya tidak sempat menunggu "rumah" saya yang reot ini dan juga belum sempat mengunjungi rumah para sahabat.
  1. Pertama, pada bulan ini adalah deadline saya untuk segera menyerahkan laporan kegiatan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) sebagai persyaratan saya mengikuti Kuliah Sertifikasi Jalur Pendidikan sementara saya masih mengemban amanah menjalankan tugas mengajar di sekolah saya.
  2. Kedua, masih berkaitan dengan kuliah saya yang berakhir saya juga harus menyelesaikan dua tugas matakuliah ke pihak Fakultas yang harus segera diserahkan menjelang ujian semester dan persiapan ujian kompetensi yang diselenggarakan tingkat pusat.
  3. Ketiga, seagai anggota masyarakat kampung di bulan ini juga saya kebagian tempat untuk 2 kali kegiatan kampung
  4. Keempat, sebagai anggota keluarga besar banyak hal-hal tak terduga yang terpaksa menyita waktu dan pikiran saya karena ada keponakan yang sakit sehingga harus menjalani operasi di salah satu RS di Solo, sementara keluarga transit di rumah saya.
Itulah sahabat di antara beberapa alasan yang memang tidak saya buat-buat. Semoga para sahabat maklum dan tidak kapok berkunjung ke "rumah" saya yang masih reot. Insyaallah saya pasti akan berkunjung lagi ke rumah para sahabat, jika kesempatan sudah memungkinkan.

TIDAK MAU KALAH DENGAN MIE

PTK PUN BISA DIPESAN ISTAN

Bulan ini mungkin menjadikan bulan tersibuk bagi sebagian guru, karena bulan ini sebagian besar guru mendapat panggilan sertifikasi jalur portofolio tahun 2009. Meski sudah bukan barang baru, sertifikasi menjadi topik yang tak pernah usang dan tetap saja membuat banyak guru yang mendapat jatah tahun ini kebingungan. Saya jadi teringat beberapa penggalan kalimat geguritan Susilowati S Harjono yang pernah saya posting di blog saya. Sertifikasi telah membuat guru “Obahe kaya mili kenter, kaya ora keduman, sapa kanca sapa lawan”. Sertifikasi sudah membuat “guru-guru padha mbingungi, adhem panas rina wengi”.

Benar apa yang digambarkan oleh geguritan itu, sertifikasi telah membuat guru-guru sibuk ke sana kemari. Bukan saja guru yang telah mendapat giliran, tetapi juga semakin membuat gusar mereka yang belum mendapat giliran. Apalagi dengan adaya Peraturan Pemerintah (PP) 74 tahun 2008, yang mengakomodasi guru-guru yang belum S1 berumur lebih 50 tahun dan masa kerja lebih dari 20 tahun untuk ikut sertifikasi. Hal ini banyak menyebabkan guru-guru yang sudah merasa S1 tergeser dengan rekannya, karena kuota yang ada jatuh pada guru-guru tersebut.

Meski secara lahir mereka berusaha menutupi kegusaran mereka. “Ah, Saya santai saja, kapan-kapan. Ndak pa pa…”. Namun jelas dari perilakunya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya juga ingin segera mendapatkannya. Nyatanya juga banyak yang menggerutu, “Pak Ini Sudah, Bu ini sudah sedangkan saya kok belum padahal jadi gurunya duluan saya”.

Yang dapat giliranpun tidak kalah heboh. Sibuk ke sana ke mari. Sudah hal biasa juga ketika para guru rela meninggalkan tugas mengajar karena sibuk melengkapi dokumen portofolionya. Dan rasanya kecurangan demi kecurangan dan tindakan kurang terpuji sudah hal biasa dilakukan sebagian rekan-rekan guru hanya untuk melengkapi dokumen portofolionya. Meski di antara mereka masih ada yang menjunjung tinggi idealisme dan kejujuran namun rasanya pada satu sekolah bisa dihitung dengan jari.

Salah satu kecurangan yang sering dilakukan adalah pada poin pengembangan profesi. Juga bukan barang baru jika guru-guru yang pasif asal mengajar dan diam saja tahu-tahu berkas setifikasi setumpuk berisi sertifikat-sertifikat pelatihan dan karya ilmiah penelitian. Tidak kalah dengan mie, sertifikat dan hasil penelitian pun saat ini dapat dipesan secara instan.

Sekarang ini banyak lembaga termasuk PT Swasta dan Kaki Lima yang di era sertifikasi ini mengaku peduli dengan guru, bisa menyediakan berbagai keperluan sertifikat tersebut. Ibarat gayung bersambut, animo guru tidak makin berkurang. Meski semakin lama semakin mahal tetap saja banyak diminati. Entah mengikuti kegiatan secara kebetulan atau hanya titip identitas dan uang sertifikat bisa langsung di terima, tanpa si guru datang.

Meski budaya instan di masyarakat sudah lumrah, namun di kalangan guru baru menggejala dan terus mewabah bak virus di era sertifikasi ini. Dan ternyata iming-iming tunjangan satu kali gaji sudah meracuni mental guru, yang digugu dan ditiru. Banyak guru ternyata juga mendidik dirinya menyukai yang serba instan, tidak perlu susah payah, dengan sekali kerja yang penting tunjangan segera cair. Mungkin di antara mereka sudah lupa, bahwa tiap hari mereka selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk tidak malas dan rajin belajar agar memperoleh prestasi bagus.

Bukan hanya sertifikat yang bisa diperoleh secepat kilat, karya ilmiah hasil penelitian pun sekarang bisa dipesan secara instan. Jangankan sekedar karya ilmiah dokumen (pustaka), jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pun bisa diperoleh dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa perlu melakukan tindakan apapun. Banyak guru tanpa rasa bersalah dan malu bisa pesan penelitian di mana saja dan kapan saja. Ibarat menjahitkan baju, mereka bisa memesan sebuah penelitian satu minggu, 2 hari, atau bisa saja langsung beli datang tinggal pilih.

Sepertinya sekarang ini jual beli penelitian tidak hanya di kalangan mahasiswa saja tetapi masuk ke ranah guru. Dan ternyata ada gula ada semut, banyak guru yang merasa mampu dengan hanya sedikit pengetahuan penelitian menyediakan jasa pesanan ini, yang sangat diminati guru. Mereka tanpa modal buku referensi, hanya modal koleksi beberapa penelitian, otak-atik sedikit, copy paste, bisa langsung terjual laris manis.

Saya pernah juga mendapat “order” dari seorang rekan. “Bu saya bisa nggak dibuatkan PTK”. Ketika saya jawab: “Saya nggak pernah membuatkan PTK atau penelitian bu, teman-teman yang ke saya itu biasanya sudah punya ide dan konsep, minta bimbingan. PTK itu harus dilakukan sendiri. Ibu, coba punya ide dan tindakan apa, nanti saya bantu kasih masukan”. Beliau malah menjawab: “Teman saya guru mapel X bisa pesan, 2 minggu jadi 4 lho bu”. Akhirnya saya jawab juga: “Ya, silahkan pesan aja ke temannya bu, siapa tahu seminggu bisa lima”. Akhirnya telponnya ditutup.

Pengalaman lain, saya punya kenalan seorang Kepala Sekolah di lain Kota. Ketika beliau berdiskusi tentang pengolahan data di rumahbeliau pernah nyeletuk. “Mbak, penjenengan mbok kaya anak buahku itu lho, pinter nggawe PTK, laris banget (Kacang goreng kali ….). Dua tahun sudah bisa beli kijang”. Saya jawab: “Kalau saya mau, mungkin tidak hanya bisa beli kijang pak, tapi beli harimau”….

Saya pernah berkenalan juga dengan seorang sopir taksi, lulusan sebuah akademi swasta 1 tahun yang lalu. Mengeluh cari kerja yang sesuai susah. Cerita ngalor ngidul, setelah si sopir tahu saya guru akhirnya dengan bangga menceritakan bapaknya yang guru IPA. Selama 2 tahun sejak gaung sertifikasi didengungkan, sudah berhasil membuatkan berkas sertifikasi (penelitian) puluhan judul. “Lumayan lho bu, lebih besar dibanding gaji Bapak” Sampai bisa membiayai kuliah dia di akademi selama 2 tahun terakhir… Saya hanya berpikir dalam hati. Barangkali, karena Bapaknya dapat biaya kuliah dari cara-cara yang salah, tidak berkah bagi keluarganya. Anaknya susah dapat kerjaan hingga harus jadi sopir taksi.

Barangkali pengalaman saya, hanya secuil potret perilaku sebagian kecil guru saat ini. Saya masih optimis banyak rekan-rekan guru yang masih menjujung tinggi etika keguruan dan idealisme. Dan semoga harapan yang dicanangkan pada upacara puncak peringatan Hari Guru 2008 di Lapangan Tennis Indoor Senayan (2 Desember 2008) yang pernah saya ikuti dapat terwujud. Guru Profesional, Sejahtera, Bermartabat dan Terlindungi. Bukan guru yang menuntut sejahtera dengan cara-cara yang tidak bermartabat.

NB: Tulisan ini hanyalah bahan refleksi saya atau buat rekan-rekan guru lain yang masih peduli terhadap mulianya profesi guru. Kalau dibilang nyindir, ya bolehlah. Bukankah tunggal guru tidak boleh saling mengganggu tapi sesama guru wajib saling mengingatkan satu sama lain.

Dari Sahabat Untuk Sahabat (3)

AWARD DARI MBAK RENI DAN MBAK FANDA


Pertama kali yang ingin saya sampaikan dalam posting kali ini adalah permintaan maaf saya pada sahabat-sahabat saya yang setia Mbak Reni Judhanto dan Mbak Fanda yang telah bersusah payah menganugerahkan award untuk saya. Barangkali saya adalah sahabat yang paling malas diantara para sobat blogger lainnya. Dengan sangat menyesal saya baru posting awardnya kali ini, meski award ini sudah lama saya terima.


Tapi bukan bermasud mengecewakan hati sahabat-sahabat yang baik ini, tapi memang sejak pemilu kemarin Jeng Inet sering ngambek. Beberapa kali bisa posting, tapi untuk upload gambar susah sekali, dan bahkan mau kulonuwun ke rumah sobat juga sering error Page Load Error, Conection Interrupted, dan Address Not Found. Maklumlah, saya hanya pakai Modem USB CDMA, dengan berlangganan paket pulsa pasca bayar. Padahal tagihannya naik lebih 100 %, sayang lama-lama pelayananannya sering mengecewakan.


Kadang-kadang hanya bisa buka email aja, tapi tidak bisa membalas. Atau hanya buka blog saja, tapi update gagal terus. Baru seminggu kemarin lumayan normal, tapi sayangnya karena ada kegiatan kampung bertempat di rumah saya, atau menghadiri hajatan rekan, jarang sekali saya bisa online. Mudah-mudahan dengan posting saya kali ini, bisa menebus kekecewaan mbak Reni dan Mbak Fanda. Harap maklum ya mbak...


Dan seperti biasa award-award yang lain, juga dibarengi dengan PR dan harus diestafetkan ke yang lainnya. Tapi untuk yang kedua kalinya saya minta maaf pada yang empunya award ini, saya keluar dari aturan yang ada karena saya tidak ingin terlalu membebani sahabat-sahabat saya dengan PR-PR itu. Seperti yang saya lakukan dengan murid-murid saya. Meski saya guru saya jarang membebani murid-murid saya dengan PR. Kalau yang ini bukan karena khawatir membebani murid saya (karena merupakan salah satu tugas mereka), tapi lebih karena sering sekali yang mengerjakan PR ya anak-anak itu saja, lainnya hanya copy paste milik temannya yang rajin sebelum pelajaran dimulai.


Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mbak Reni dan mbak Fanda, saya ingin persembahkan award ini buat sahabat-sahabat yang berkunjung di blog ini. Bagi yang belum punya koleksi awardnya silahkan diambil, bagi yang sudah ada di koleksinya tidak masalah. Yang jelas ini tanda persahabatan dari seorang guru yang ingin selalu belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Aset yang Terabaikan

IPENDIDIKAN KARAKTER YANG MAKIN TEREDUKSI

You lose your wealth, you lose nothing

You lose your health, you lose something

You lose your character, you lose everything

Kalimat-kalimat dalam ‘The Nightmare of Loosing’, Lukisan karya A.D. Pirous;

dikutip I Gede Raka


Tidak ada yang memungkiri bahwa pendidikan sangat berperan penting terhadap pembentukan karakter suatu bangsa. Termasuk bangsa kita, yang pada hari ini hampir setiap institusi yang berkaitan dengan pendidikan mengadakan “ritual tahunan” yaitu upacara bendera. Upacara untuk memperingati hari bersejarah bagi dunia pendidikan di Indonesia yang semakin jauh dari tujuan mulia pendidikan itu sendiri, karena lebih banyak hanya membuat slogan dan simbol-simbol, tapi jauh dari implementasi riil. Sampai saat ini pendidikan kita masih memprihatinkan dan masih berkutat pada permasalahan internal seperti profesionalisme pendidika, sistem yang lemah, dan justru semakin menjauhkan dari nilai-nilai luhur bangsa yang sebenarnya merupakan aset yang tak ternilai untuk kemajuan itu sendiri.


Sebagai contoh permasalahan di kalangan pendidik. Program sertifikasi guru yang diharapkan mampu mengangkat citra dan profesionalisme pendidik, justru semakin membuat pendidik menghalalkan segala cara dan saling sikut untuk bisa ikut sertifikasi lebih awal. Memalsukan dokumen dan meninggalkan tugas mengajar untuk mengejar sertifikat sepertinya hal yang jamak dilakukan guru era sertifikasi ini. Apalagi kalau bukan tujuan kesejahteraan (duit). Tujuan profesional yang diharapkan justru tersingkirkan. Selain itu juga semakin menyingkirkan jiwa-jiwa guru yang penuh tauladan. Hingga mereka yang tidak lolos sertifikasi pun, tanpa rasa malu melakukan “demo” menuntut agar diluluskan semua. Toh bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka yang telah mendapat sertifikat pendidik, tidak banyak mengupdate dirinya, tidak ada yang berubah dari cara mengajarnya yang konvensional, tetapi justru pola hidupnya yang semakin konsumtif. Sehingga ada sindiran yang sempat dilontarkan seorang konsultan pendidikan di Jakarta bahwa “guru batuk saja menuntut bayaran”. Hal tersebut tidak lepas dari pengambilan kebijakan yang keliru.


Sistem pendidikan saat ini terasa menjadi alat ”penyandera” anak didik, karena padatnya kurikulum, kurang memberi ruang bagi anak untuk belajar mengenal diri dan lingkungannya. Anak menjadi ”bank” tempat ”menabung kumpulan soal-soal yang harus siap diambil saat ulangan. Pendidikan hanya transfer ilmu pengetahuan saja tetapi semakin mereduksi pembudayaan dan pembentukan karakter bangsa. Sekarang jarang sekali dijumpai pendidikan yang meningkatkan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang mengajarkan: integritas, kejujuran, kepedulian, komitmen, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan. Anak selalu didorong untuk memiliki kemampuan yang seragam, yang mereduksi nilai-nilai budi pekerti dan pluralitas (keragaman) sehingga menghasilkan bangsa yang sulit menghargai perbedaan.


Hasil reformasi justru membuat pendidikan makin terpuruk. Otonomi daerah menjadikan kebijakan pendidikan semakin membingungkan dan kacau karena banyak ditangani “raja-raja kecil” yaitu kepala daerah yang kadang menjadikan pendidikan untuk mempertahankan kekuasaan. Misalnya rekruitmen tenaga pendidik dan kepala sekolah yang asal-asalan. Perubahan kurikulum yang memberikan otonomi pada satuan pendidikan justru membingungkan praktisi pendidikan (guru), karena paradigma guru sulit berubah. Ujung-ujungnya mengalami siswa yang menjadi korban. Tak heran pendidikan tidak bisa menghasilkan output yang mampu mengatasi masalah bangsa, justru semakin terjerumus semakin dalam. Saat ini justru perilaku siswa yang semakin tidak terkendali. Siswa semakin kurang sopan, tidak hormat kepada orang tua, maupun guru. Toleransi dan kepedulian juga semakin hilang.


Kebijakan yang ada juga semakin membuat siswa “lemot” dalam hal tanggungjawab, integrtas dan daya juang. Sebagai contoh kebijakan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan menimbulkan berbagai kecurangan yang dilakukan oknum pejabat dan guru dengan dalih “membantu siswa”. Hal ini justru membuat siswa semakin tak berdaya dan tidak punya inisiatif dan tanggungjawab terhadap diri sendiri. Anak-anak sekarang cenderung malas belajar dan masa bodoh, karena selama ini anak di sekolah terbiasa ”diberi” bukan menemukan sendiri.


Hal inilah yang mengindikasikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami pergeseran dari cita-cita luhurnya. Pendidikan semakin jauh dari nilai-nilai filosofis. Pada intinya pendidikan yang hanya menghasilkan manusia intelektual yang “buta hati” dan kering dari nilai-nilai moralitas dan etika. Oleh karena itu sebagai pendidik mudah-mudahan kita mampu mengembalikan pendidikan kepada kittahnya (meminjam istilalah yang sering digunakan pak Sawali). Pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa yang luhur sejak dini. Yang berarti membangun sifat/perilaku yang didasari dimensi moral yang positif (baik), untuk membangun kehidupan yang baik, bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsa. Pendidikan yang tidak hanya menekankan output dan mengabaikan proses. Pendidikan yang tidak hanya mengutamakan hapalan pengetahuan di otak kiri, tapi juga mengintegrasikan nilai-nilai agama, moral, estetika, dan sikap-sikap positif lainnya. Intinya pendidikan harus mampu menumbuhkan IQ, EQ dan SQ peserta didik secara seimbang.

Siapa yang mau peduli….?

Mari kita mulai dari diri kita sendiri.