Tugas Akhir

USAHA GURU MELIBATKAN SISWA

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(Suatu Kajian)

PENDAHULUAN

Sampai saat ini pendidikan matematika di Indonesia masih menghadapi tantangan yang berat yaitu rendahnya prestasi belajar matematika siswa di sekolah. Baik dari aspek kemampuan untuk mengerti matematika sebagai pengetahuan tetapi juga aspek rendahnya sikap terhadap matematika (Zulkardi, 2003a). Salah satu faktor yang dituding berpengaruh besar terhadap rendahnya prestasi belajar tersebut adalah ketidaktepatan strategi mengajar guru.

Sudah diakui bahwa guru memegang peran sangat strategis dalam upaya mengembangkan potensi siswa dan membentuk watak serta kepribadian bangsa. Pada masyarakat Indonesia yang multikultural peran guru sampai saat ini tidak pernah tergantikan oleh teknologi secanggih apapun. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya, adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesional setiap guru. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga usaha menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan subyek didik menjadi manusia cerdas juga berbudi luhur dengan mengembangkan semua potensi yang dimiliki siswa.

Sayangnya selama ini guru lebih banyak mendominasi pembelajaran di kelas dan mengajar secara konvensional, sehingga murid pasif yakni guru menerangkan, murid mendengarkan, guru mendiktekan, murid mencatat, guru bertanya, murid menjawab, dan seterusnya. Proses pembelajaran seperti ini mendapat kritik keras dari Paulo Freire (Depdikns, 2008). Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan gaya bank, yakni pendidikan model deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa hanya menerima, mencatat dan mem-file semua yang disampaikan guru. Pendidikan model bank tersebut merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa-siswa, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.

Pola pembelajaran selama ini merupakan gaya top down (komando) bukan bottom up. Sistem pengambilan keputusan oleh guru untuk siswa. Dalam pengajaran gaya komando, semua perencanaan ditentukan oleh guru, disampaikan pada siswa, dan siswa menerima pelajaran sesuai keinginan guru. Pembelajaran seperti ini menggunakan paradigma mengajar bukan belajar. Pola pembelajaran yang berlansung biasanya dengan pembukaan, penyajian materi dan penutup. Menurut Sobel & Maletsky (2002: 1-2) pola ini disebut 3M (Membosankan, Membahayakan, Merusak minat seluruh siswa)

Akibat model pembelajaran gaya bank da komando tersebut menjadikan siswa sebagai obyek pembelajaran oleh guru. Siswa sulit punya inisiatif dan tidak kreatif karena anak terbiasa “diberi” bukan menemukan sendiri. Siswa malas berpikir dan daya juang (untuk belajar) rendah. Siswa sulit menerima perbedaan pendapat karena siswa dididik untuk menurut pola pikir guru dan berpikir seragam. Sehingga siswa tidak berani menggunakan caranya sendiri, karena takut salah.

Oleh karena itu guru harus mengubah paradigma dari mengajar ke belajar sehingga siswa bisa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan mengoptimalkan seluruh potensi dan perkembangan anak. Implkasinya guru harus memahami bagaimana anak belajar matematika dan mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran sehingga menjadi efektif.


HAKEKAT BELAJAR MATEMATIKA

Pola pembelajaran “model bank” sangat bertentangan dengan hakekat belajar matematika, di mana matematika bersifat hirarkis. Hirarki matematika yaitu materinya itu tersusun rapi, ada urut-urutannya mulai rendah ke yang tinggi atau dari yang tinggi ke yang rendah. Implikasi dari sifat hirarkis ini adalah konsep yang satu sangat mempengaruhi konsep berikutnya. Hal ini yang membedakan matematika dengan ilmu lain karena pengertian/ konsep matematika terjaga kekonsistenannya. Mengingat bersifat hirarkis maka belajar matematika harus tertib dan konsisten. Jika tidak tertib maka hasilnya hanya hafalan bukan pemahaman, padahal prinsip belajar matematika menghendaki pemahaman bukan hapalan.

Hafalan terjadi karena pengetahuan baru tidak dibangun berdasarkan pengetahuan sebelumnya yang telah ada di otak, sehingga ilmu yang ada di otak menjadi satuan-satuan yang terisolasi dan salang asing, tidak mempunyai keterkaitan. Pemahaman dikatakan terjadi jika pengetahuan yang ada di otak menjadi satuan-satuan yang terkoneksi satu dengan yang lainnya (Abdusysyakir, 2007: 15). Hal ini sejalan dengan pendapat Andersen, J.R., et al (2000) bahwa pengetahuan dibangun melalui konstruksi pengetahuan di otak siswa sehingga terbentuk hubungan dan saling keterkaitan antara materi.

Sayangnya pembelajaran matematika selama ini belum berhasil mencapai tujuan tersebut. Salah satu penyebab sulitnya pemahaman matematika adalah sikap negatif sebagian besar siswa terhadap matematika dan cara belajar matematika yang salah. Selain itu pendekatan pembelajaran guru serin g keliru juga keliru. Selama ini siswa sering dididik secara mekanik, diberikan rumus atau caratanpa tahu perolehan cara tersebut, siswa haya menerapkannya dalam soal menurut cara guru, sehingga siswa tidak memahami matematika secara utuh. Hal ini bertentangan dengan paradigma “belajar” yang berientasi pada usaha mempersiapkan siswa menjadi orang yang dapat belajar secara mandiri (independent leaners). Paradigma belajar tidak cukup siswa belajar dengan instruksi guru dalam mentransfer pengetahuan ke siswa, tetapi siswa perlu mengkonstruksi konsep matematika dari informasi yang diterimanya. Siswa harus diberi kesempatan merekonstuksi pengetahuan yang mereka ketahui dan menemukan konsep dengan berbuat.

Hal tersebut sejalan dengan teori belajar konstruktivisme yang memandang anak sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya (Hamzah, 2003). Karakteristik pembelajaran konstruktivisme adalah (Boudourides, 2005) :

1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,

2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar (mengerjakan tugas berbeda atau penyelesaian masalah dengan berbagai cara,

3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkrit dan mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari (Contextual Teaching and Learning/CTL),

4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan kerja sama dengan orang lain atau lingkungannya,

5. Memanfaatkan berbagai media, sehingga pembelajaran efektif,

6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar,

Konstruktivisme sejalan dengan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi. Siswa harus aktif menemukan informasi-informasi tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tapi menjadi partner siswa dalam proses penemuan berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam materi yang dipelajari. Mengajar dalam pendekatan ini, menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan semua kemampuan siswa dapat dikembangkan dalam proses belajar. Materi disajikan secara merangsang, kemampuan siswa diperhitungkan, guru berfungsi sebagai motivator, organisation, pengarah dan media pengajaran yang cukup komunikatif (Depdiknas, 2008).

Hal tersebut akan menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam kebersamaan (learning to life together).


USAHA GURU MELIBATKAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN

Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan matematika, maka diperlukan usaha guru agar pembelajaran matematika dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, prestasi belajar matematika keseluruhan. Beberapa usaha yang bisa dilakukan adalah;


1. Meningkatkan Partisipasi Siswa Secara Aktif

Secara harfiah cara belajar siswa aktif diartikan sebagai sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional untuk memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara kognitif, afektif dan psikomotor (Moh Uzer Usman, 2005: 22). Akan tetapi cara belajar apapun yang digunakan dalam pembelajaran sebenarnya mengandung keaktifan siswa, meskipun kadarnya berbeda-beda.

Mengajar dalam pendekatan ini, menciptakan sistem lingkungan yang memungkinan semua kemampuan siswa dapat dikembangkan dalam proses belajar. Materi disajikan secara merangsang, kemampuan siswa diperhitungkan, guru berfungsi sebagai motivator, organisation, pengarah dan media pengajaran yang cukup komunikatif. Di dalam sistem ini, siswa memperoleh pengalaman belajar dengan cirri-ciri sebagai berikut (Depdiknas, 2008).

a. Siswa live-in didalam proses belajar mengajar sehingga mereka minikmati pengalam belajar yang asyik

b. Kegiatan belajar berjalam secara antusias

c. Ada rasa penasaran diikuti dengan sikap on the task. Pengalam belajar yang telah dikembangkan

d. Di dalam kelas akan diteruskan diluar kelas, baik dalam arti pengalaman belajar terstruktur maupun pengalaman belajar mandiri.

Cara untuk memperbaiki dan meningkatkan keterlibatan siswa adalah sebagai berikut

a. Guru perlu merelakan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan belajar mengajar,

b. Menggunakan berbagai teknik mengajar, motivasi serta penguatan,

c. Masa transisi antara berbagai kegiatan dalam mengajar hendaknya dilakukan secara cepat dan luwes,

d. Memberikan penjelasan yang tepat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

e. Mengusahakan pembelajaran lebih menarik minat siswa dan mengaitkannya dengan kehidupan.

f. Mengenali dan membantu siswa yang kurang terlibat, menyelidiki penyebabnya yang menyebabkannya dan usaha apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi anak tersebut.

g. Menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan intelektual siswa.i


2. Menarik Minat dan Perhatian Siswa

Kondisi belajar mengajar yang efektif ditunjukkan adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Menurut Moh Uzer Usman (2005: 27) minat merupakan sesuatu yang sifatnya relatif menetap dalam diri seseorang. Minat ini besar sekali pengaruhnya terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaitannya dengan sifat-sifat murid, baik kognitif seperti kecerdasan dan bakat, maupun afektif seperti motivasi, rasa percaya diri dan minatnya. Dibandingkan dengan minat perhatian lebih bersifat sementara dan ada hubungannya dengan minat. Perbedaannya minat sifatnya menetap sedangkan perhatiannya sifatnya sementara, adakalanya menghilang.

Untuk menarik perhatian siswa hendaknya, guru berusaha memusatkan perhatian siswa terhadap apa yang disampaikannya. Hal ini dapat dilakukannya dengan menggunakan berbagai alat peraga pengajaran dalam penyajian materi yang disampaikan. Sobel & Maletsky, (2002: 2–30) menyarankan untuk menarik minat siswa dapat dilakukan dengan memulai pelajaran yang menantang dan siswa diberi kesempatan untuk menduga, mendiskusikan maupun berdebat untuk memperoleh jawabannya, kemudian guru membimbing untuk memperoleh jawabannya.


3. Membangkitkan motivasi

Motif adalah daya dalam dri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu, atau keadaan seseorang yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan. Sedangkan motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan atau kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu (Moh Uzer Usman, 2005: 28).

Tugas guru adalah membangkitkan motivasi siswa sehingga ia mampu melakukan belajar. Orang akan termotivasi bila ia percaya bahwa (pusdiklatdepdiknas.go.id) (1) suatu perilaku tertentu akan menghasilkan hasil tertentu, (2) hasil tersebut mempunyai nilai positif baginya, dan (3) hasil tersebut dapat dicapai dengan usaha yang dilakukan seseorang. Prinsip-prinsip motivasi adalah memberi penguatan, sokongan, arahan pada perilaku yang erat kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam belajar yang telah ditemui oleh para ahli ilmu belajar.

Beberapa usaha memotivasi siswa dalam belajar adalah (Depdiknas, 2008):

a. Belajar melalui model bandura, yaitu belajar atas kegagalan dan keberhasilan orang, dan akhirnya seseorang yang meniru dengan sendirinya akan matang karena telah melihat pengalaman-pengalaman yang dicoba orang lain.

b. Belajar kebermaknaan, di mana guru berusaha menghubungkan pengalaman-pengalaman pada masa lampau dan akan datang.

c. Melakukan interaksi antara siswa dan guru yang dilakukan timbal balik dalam menyampaikan pesan (message) kepada siswa.

d. Menyajikan pembelajaran yang menarik

e. Memaparkan keberhasilan figur-figur yang berprestasi sehingga memunculkan need for achievement siswa, sehingga mereka harus bekerja keras/gigih agar tidak pesimis, dan tidak mudah patah semangat.

f. Pelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.


4. Memilih Pendekatan dan Model Pembelajaran yang Sesuai

Untuk dapat mengajar dengan efektif, guru harus menggunakan berbagai pendekatan dan model pembelajaran yang sesuai sehingga berminat dan mau terlibat dalam proses belajar mengajar.

Banyak metode pembelejaran yang baik telah diketahui keuntungan dan kelemahannya. Tetapi yang sedang tren saat ini adalah pendekatan mengajar konstruktivisme dengan karakteristik memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki.

Guru dengan pandangan belajar konstruktivisme akan berusaha melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Memilih tugas-tugas matematika sedemikian sehingga memotivasi minat siswa dan meningkatkan keterampilan intelektual siswa’

b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mendalami pemahaman mereka terhadap produk dan proses matematika serta penerapannya,

c. Menciptakan suasana kelas yang mendorong dicapainya penemuan dan pengembangan idea matematika,

d. Menggunakan dan membantu pemahaman siswa, alat-alat teknologi, serta sumber-sumber lain untuk menigkatkan penemuan matematika,

e. Mencapai dan membantu siswa untuk mencari hubungan antara pengetahuan semula dengan pengetahuan baru;

f. Membimbing secara individual, secara kelompok dan secara klasikal.

Selain menguasai matematika dengan baik untuk melakukan proses pembelajaran tersebut, guru juga harus menekankan pembelajaran kepada (Van De Walle, 2008: 6):

a. Mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika

b. Menjadikan logika dan bukti matematika sebagai alat pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memutuskan suatu kebenaran,

c. Mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur.

d. Mementingkan membuat dugaan, penemuan dan pemecahan soal dan menjauhkan dari tekanan pada penemuan jawaban secara mekanis,

e. Mengaitkan matematika, ide-ide dan aplikasinya, dan tidak dapat memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terasingkan.

Salah satu pendekatan mengajar yang selaras dengan paham konstruktivisme adalah PAKEM yaitu Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (Setiawan, 2004). Menurut Al Krismanto (2003):

a. Aktif, di mana guru aktif memantau kegiatan siswa, memberi umpan balik, memberikan pertanyaan yang menantang dan menanyakan gagasan siswa. Siswa aktif bertanya, mengemukakan gagasan mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya.

b. Kreatif, di mana guru mengembangkan kegiatan beragam dan mengembangkan alat bantu belajar sederhana dan siswa membuat/merancang sesuatu.

c. Efektif, di mana pembelajaran mencapai tujuan yang ditetapkan dan siswa menguasai apa yang ditetapkan,

d. Menyenangkan, di mana tidak membuat anak takut salah, takut ditertawakan, dan takut dianggap sepele sehingga siswa berani berbuat, berani bertanya, dan mengemukakan pendapat dan gagasannya.

Selain PAKEM salah satu strategi melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran adalah dengan Model Pembelajaran Kooperatif atau Cooperative Learning). Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Siswa belajar kelompok secara koperatif, dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada kontrol dan fasilitas, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi (Depdiknas, 2008).

Pembelajaran kooperatif memuat empat unsur kunci sebagai usaha mengaktifkan siswa yaitu (Slavin 2008: 250):

a. Interaksi tatap muka: para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan empat sampai lima orang.

b. Interdependensi positif: para siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan kelompok.

c. Tanggung jawab individual: para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual telah menguasai materi pelajaran.

d. Kemampuan-kemampuan interpersonal dan kelompok kecil: para siswa diajari mengenai sarana-sarana yang efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan seberapa baik kelompok mereka bekerja dalam mencapai tujuan mereka.

Beberapa tipe dari model pembelajaran kooperatif, antara lain (Slavin, 2008: 143 – 246):

a. STAD (Student Tems-Achievement Divisions)

b. TGT (Tim-Game-Turnament)

c. TAI (Team-Assisted Individualization)

d. CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition)

e. GI (Group Investigation)

f. Co-op Co-op

g. Jigsaw

h. Jigsaw II

i. CI (Complex Instruction)

Berdasarkan penelitian, model-model pembelajaran tsb menunjukkan bahwa penghargaan kepada kelompok didasarkan pada pembelajaran individual menunjukkan pencapaian kompetensi lebih baik dibandingkan dengan model-model individualistik. Selain itu model pembelajaran kooperatif memiliki pengaruh positif yaitu diperolehnya hubungan saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing (Depdiknas, 2008).


5. Memilih Media Pembelajaran yang Tepat

Media sangat berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, termasuk untuk peningkatan kualitas pembelajaran matematika. Pada awalnya guru merupakan satu-satunya sumber untuk memperoleh pelajaran. Agar siswa belajar secara aktif dan berinteraksi dengan sumber belajar. Cara belajar dengan mendengarkan ceramah dari guru memang merupakan cara interaksi tersebut. Namun belajar dengan cara mendengarkan saja pantas diragukan efektifitasnya. Belajr menjadi efektif jika peserta didik diberi kesempatan melakukan sesuatu melalui berbagai media pembelajaran. Melalui berbagai media pembelajaran siswa akan banyak berinteraksi secara aktif dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki siswa.

Pada mulanya media pembelajaran hanyalah dianggap sebagai alat untuk membantu guru dalam kegiatan mengajar (teaching aids). Alat bantu yang mula-mula digunakan adalah alat bantu visual seperti gambar, model, grafis, atau benda nyata lain. Alat-alat bantu tersebut dimaksudkan memberikan pengalaman lebih kongkrit, memotivasi serta mempertinggi daya serap dan daya ingat siswa dalam belajar (Didik Hartoko, 2004: 6).

Belajar yang efektif harus mulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman kongkret dan menuju pengalaman yang lebih abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu dengan alat peraga pengajaran daripada siswa belajar tanpa alat peraga pengajaran (Moh Uzer Usman, 2005: 31) Secara umum, kegunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut (Anonim, 2003):

a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya: obyek yang terlalu besar atau kecil, gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, kejadian masa lampau, obyek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin), dan konsep yang terlalu luas

c. Menumbuhkan sikap pasif anak didik, yaitu menumbuhkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan, dan memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

Prinsip penggunaan media dan pemilihan media pembelajaran hendaknya di dasarkan atas kriteria tertentu. Ade Koesnandar (2003) menyatakan sejumlah pertimbangan dalam memilih media pembelajaran yang tepat dan dirumuskan satu kata ACTION (access, cost, technology, interactivity, organization, dan novelty:

a. Access, yaitu kemudahan akses untuk memanfaatkan media.
Apakah media yang kita perlukan itu tersedia, mudah, dan dapat dimanfaatkan oleh murid? Akses juga menyangkut aspek kebijakan, misalnya apakah murid diijinkan untuk menggunakannya?

b. Cost, yaitu apakah biayanya terjangkau atau tidak,

c. Technology, yaitu apakah media tersebut tersedia dan mudah menggunakan.

d. Interactivity, yaitu media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivitas.

e. Organization, yaitu bagaimana dukungan dan pengorganisasiannya.

f. Novelty, yaitu kebaruan dari media yang dipilih.


DAFTAR PUSTAKA


Abdusysyakir, 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN-Malang Press.


Ade Koesnandar. Guru dan Media Pembelajaran. Jurnal Teknodik Edisi No. 13/VII/Desember 2003.


Al Krismanto, 2003. Beberapa Teknik dan Model Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Pelatihan Pengembang Instruktur Matematika 28 Juli – 10 Agustus 2003. Depdiknas Ditjen Dikdasmen – PPPG Matematika Yogyakarta.


Andersen, J.R., Lynne M. Reder, Herbert A. Simon, 2000. Applications and Misapplications of Cognitive Psychology to Mathematics Education. Texas Educational Review. Contributed Paper at the International Conference on the Teaching of Mathematics Samos, July 3-6, 1998.


Anonim, 2003. Media Pembelajaran dan Proses Belajar Mengajar. http://berita.penabur.org. Akses: tanggal 12 November 2003.


Boudourides, A. Moses, 2005. Constructivism in Math Education. Constructivism And Education: A Shopper’s Guide. http://www.duth.gr. Akses: 29 Agustus 2006.


Boudourides, A. Moses, 2005. Constructivism in Math Education. Constructivism And Education: A Shopper’s Guide. http://www.duth.gr. Akses: 29 Agustus 2006.


Depdiknas, 2008. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Depdiknas. www.pusdiklatdepdiknas.net. Akses: 28 November 2008.


_______, 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Depdiknas. www.pusdiklatdepdiknas.net. Akses: 28 November 2008.


Didik Hartoko, 2004. Media Pembelajaran. Disampaikan dalam Workshop Peningkatan Pemahaman Kurikulum Guru SMP yang diselenggarakan oleh Subdin Pengembangan Tenaga Kependidikan dan Non Kependidikan Seksi PTK-SLTP. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tanggal 7 – 19 Maret 2004 di LPMP Jawa Tengah.


Hamzah, 2003. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 040 Januari 2003. www.depdiknas.go.id. Akses 29 Agustus 2006.


Marsigit, 2008. Perencanaan Pembelajaran Matematika. Tanggal akses: 28 Nopember 2008. http://www.powermathematics.blogspot.com.


Moh. Uzer Usman, 2005. Menjadi Guru Profesional. Edisi Kedua. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya


Setiawan, 2004. Pembelajaran Matematika yang Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Disampaikan pada Diklat Pengembang Instruktur Matematika SMA Jenjang Dasar. Tanggal 6 – 10 Agustus 2004.


Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Lerning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.


Sobel, & Maletsky, 2002. Mengajar Matematika. Jakarta: Erlangga.


Van De Walle, John, 2008. Elementary and Midle School Mathematics (Matematika Sekolah Dasar dan Menengah). Edisi Keenam. Alih Bahasa: Dr Suyono, MSi. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Zulkardi, 2003. Peningkatan Mutu Pendidikan Matematika Melalui Mutu Pembelajaran. www.pmri.or.id. Akses: tanggal 10 November 2003.


Tidak ada komentar: