Maafkanlah ... Aku Hanya Seorang Guru Biasa.

CURHAT UNTUK SAHABAT

Sobat yang baik,
Pertamakali saya sampaikan terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga untuk para sahabat yang telah menyempatkan diri baik sengaja maupun tidak sengaja mengunjungi blog saya ini. Saya yakin niat para sahabat sungguh mulia dengan saling berkunjung adalah sarana memotivasi saya sebagai seorang guru biasa yang selalu ingin belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pada kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk para sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, beberapa waktu ini saya belum sempat mengunjungi para sahabat karena berbagai hal baik yang terencana maupun yang tak terencana sehingga saya tidak sempat menunggu "rumah" saya yang reot ini dan juga belum sempat mengunjungi rumah para sahabat.
  1. Pertama, pada bulan ini adalah deadline saya untuk segera menyerahkan laporan kegiatan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) sebagai persyaratan saya mengikuti Kuliah Sertifikasi Jalur Pendidikan sementara saya masih mengemban amanah menjalankan tugas mengajar di sekolah saya.
  2. Kedua, masih berkaitan dengan kuliah saya yang berakhir saya juga harus menyelesaikan dua tugas matakuliah ke pihak Fakultas yang harus segera diserahkan menjelang ujian semester dan persiapan ujian kompetensi yang diselenggarakan tingkat pusat.
  3. Ketiga, seagai anggota masyarakat kampung di bulan ini juga saya kebagian tempat untuk 2 kali kegiatan kampung
  4. Keempat, sebagai anggota keluarga besar banyak hal-hal tak terduga yang terpaksa menyita waktu dan pikiran saya karena ada keponakan yang sakit sehingga harus menjalani operasi di salah satu RS di Solo, sementara keluarga transit di rumah saya.
Itulah sahabat di antara beberapa alasan yang memang tidak saya buat-buat. Semoga para sahabat maklum dan tidak kapok berkunjung ke "rumah" saya yang masih reot. Insyaallah saya pasti akan berkunjung lagi ke rumah para sahabat, jika kesempatan sudah memungkinkan.

TIDAK MAU KALAH DENGAN MIE

PTK PUN BISA DIPESAN ISTAN

Bulan ini mungkin menjadikan bulan tersibuk bagi sebagian guru, karena bulan ini sebagian besar guru mendapat panggilan sertifikasi jalur portofolio tahun 2009. Meski sudah bukan barang baru, sertifikasi menjadi topik yang tak pernah usang dan tetap saja membuat banyak guru yang mendapat jatah tahun ini kebingungan. Saya jadi teringat beberapa penggalan kalimat geguritan Susilowati S Harjono yang pernah saya posting di blog saya. Sertifikasi telah membuat guru “Obahe kaya mili kenter, kaya ora keduman, sapa kanca sapa lawan”. Sertifikasi sudah membuat “guru-guru padha mbingungi, adhem panas rina wengi”.

Benar apa yang digambarkan oleh geguritan itu, sertifikasi telah membuat guru-guru sibuk ke sana kemari. Bukan saja guru yang telah mendapat giliran, tetapi juga semakin membuat gusar mereka yang belum mendapat giliran. Apalagi dengan adaya Peraturan Pemerintah (PP) 74 tahun 2008, yang mengakomodasi guru-guru yang belum S1 berumur lebih 50 tahun dan masa kerja lebih dari 20 tahun untuk ikut sertifikasi. Hal ini banyak menyebabkan guru-guru yang sudah merasa S1 tergeser dengan rekannya, karena kuota yang ada jatuh pada guru-guru tersebut.

Meski secara lahir mereka berusaha menutupi kegusaran mereka. “Ah, Saya santai saja, kapan-kapan. Ndak pa pa…”. Namun jelas dari perilakunya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya juga ingin segera mendapatkannya. Nyatanya juga banyak yang menggerutu, “Pak Ini Sudah, Bu ini sudah sedangkan saya kok belum padahal jadi gurunya duluan saya”.

Yang dapat giliranpun tidak kalah heboh. Sibuk ke sana ke mari. Sudah hal biasa juga ketika para guru rela meninggalkan tugas mengajar karena sibuk melengkapi dokumen portofolionya. Dan rasanya kecurangan demi kecurangan dan tindakan kurang terpuji sudah hal biasa dilakukan sebagian rekan-rekan guru hanya untuk melengkapi dokumen portofolionya. Meski di antara mereka masih ada yang menjunjung tinggi idealisme dan kejujuran namun rasanya pada satu sekolah bisa dihitung dengan jari.

Salah satu kecurangan yang sering dilakukan adalah pada poin pengembangan profesi. Juga bukan barang baru jika guru-guru yang pasif asal mengajar dan diam saja tahu-tahu berkas setifikasi setumpuk berisi sertifikat-sertifikat pelatihan dan karya ilmiah penelitian. Tidak kalah dengan mie, sertifikat dan hasil penelitian pun saat ini dapat dipesan secara instan.

Sekarang ini banyak lembaga termasuk PT Swasta dan Kaki Lima yang di era sertifikasi ini mengaku peduli dengan guru, bisa menyediakan berbagai keperluan sertifikat tersebut. Ibarat gayung bersambut, animo guru tidak makin berkurang. Meski semakin lama semakin mahal tetap saja banyak diminati. Entah mengikuti kegiatan secara kebetulan atau hanya titip identitas dan uang sertifikat bisa langsung di terima, tanpa si guru datang.

Meski budaya instan di masyarakat sudah lumrah, namun di kalangan guru baru menggejala dan terus mewabah bak virus di era sertifikasi ini. Dan ternyata iming-iming tunjangan satu kali gaji sudah meracuni mental guru, yang digugu dan ditiru. Banyak guru ternyata juga mendidik dirinya menyukai yang serba instan, tidak perlu susah payah, dengan sekali kerja yang penting tunjangan segera cair. Mungkin di antara mereka sudah lupa, bahwa tiap hari mereka selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk tidak malas dan rajin belajar agar memperoleh prestasi bagus.

Bukan hanya sertifikat yang bisa diperoleh secepat kilat, karya ilmiah hasil penelitian pun sekarang bisa dipesan secara instan. Jangankan sekedar karya ilmiah dokumen (pustaka), jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pun bisa diperoleh dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa perlu melakukan tindakan apapun. Banyak guru tanpa rasa bersalah dan malu bisa pesan penelitian di mana saja dan kapan saja. Ibarat menjahitkan baju, mereka bisa memesan sebuah penelitian satu minggu, 2 hari, atau bisa saja langsung beli datang tinggal pilih.

Sepertinya sekarang ini jual beli penelitian tidak hanya di kalangan mahasiswa saja tetapi masuk ke ranah guru. Dan ternyata ada gula ada semut, banyak guru yang merasa mampu dengan hanya sedikit pengetahuan penelitian menyediakan jasa pesanan ini, yang sangat diminati guru. Mereka tanpa modal buku referensi, hanya modal koleksi beberapa penelitian, otak-atik sedikit, copy paste, bisa langsung terjual laris manis.

Saya pernah juga mendapat “order” dari seorang rekan. “Bu saya bisa nggak dibuatkan PTK”. Ketika saya jawab: “Saya nggak pernah membuatkan PTK atau penelitian bu, teman-teman yang ke saya itu biasanya sudah punya ide dan konsep, minta bimbingan. PTK itu harus dilakukan sendiri. Ibu, coba punya ide dan tindakan apa, nanti saya bantu kasih masukan”. Beliau malah menjawab: “Teman saya guru mapel X bisa pesan, 2 minggu jadi 4 lho bu”. Akhirnya saya jawab juga: “Ya, silahkan pesan aja ke temannya bu, siapa tahu seminggu bisa lima”. Akhirnya telponnya ditutup.

Pengalaman lain, saya punya kenalan seorang Kepala Sekolah di lain Kota. Ketika beliau berdiskusi tentang pengolahan data di rumahbeliau pernah nyeletuk. “Mbak, penjenengan mbok kaya anak buahku itu lho, pinter nggawe PTK, laris banget (Kacang goreng kali ….). Dua tahun sudah bisa beli kijang”. Saya jawab: “Kalau saya mau, mungkin tidak hanya bisa beli kijang pak, tapi beli harimau”….

Saya pernah berkenalan juga dengan seorang sopir taksi, lulusan sebuah akademi swasta 1 tahun yang lalu. Mengeluh cari kerja yang sesuai susah. Cerita ngalor ngidul, setelah si sopir tahu saya guru akhirnya dengan bangga menceritakan bapaknya yang guru IPA. Selama 2 tahun sejak gaung sertifikasi didengungkan, sudah berhasil membuatkan berkas sertifikasi (penelitian) puluhan judul. “Lumayan lho bu, lebih besar dibanding gaji Bapak” Sampai bisa membiayai kuliah dia di akademi selama 2 tahun terakhir… Saya hanya berpikir dalam hati. Barangkali, karena Bapaknya dapat biaya kuliah dari cara-cara yang salah, tidak berkah bagi keluarganya. Anaknya susah dapat kerjaan hingga harus jadi sopir taksi.

Barangkali pengalaman saya, hanya secuil potret perilaku sebagian kecil guru saat ini. Saya masih optimis banyak rekan-rekan guru yang masih menjujung tinggi etika keguruan dan idealisme. Dan semoga harapan yang dicanangkan pada upacara puncak peringatan Hari Guru 2008 di Lapangan Tennis Indoor Senayan (2 Desember 2008) yang pernah saya ikuti dapat terwujud. Guru Profesional, Sejahtera, Bermartabat dan Terlindungi. Bukan guru yang menuntut sejahtera dengan cara-cara yang tidak bermartabat.

NB: Tulisan ini hanyalah bahan refleksi saya atau buat rekan-rekan guru lain yang masih peduli terhadap mulianya profesi guru. Kalau dibilang nyindir, ya bolehlah. Bukankah tunggal guru tidak boleh saling mengganggu tapi sesama guru wajib saling mengingatkan satu sama lain.

Dari Sahabat Untuk Sahabat (3)

AWARD DARI MBAK RENI DAN MBAK FANDA


Pertama kali yang ingin saya sampaikan dalam posting kali ini adalah permintaan maaf saya pada sahabat-sahabat saya yang setia Mbak Reni Judhanto dan Mbak Fanda yang telah bersusah payah menganugerahkan award untuk saya. Barangkali saya adalah sahabat yang paling malas diantara para sobat blogger lainnya. Dengan sangat menyesal saya baru posting awardnya kali ini, meski award ini sudah lama saya terima.


Tapi bukan bermasud mengecewakan hati sahabat-sahabat yang baik ini, tapi memang sejak pemilu kemarin Jeng Inet sering ngambek. Beberapa kali bisa posting, tapi untuk upload gambar susah sekali, dan bahkan mau kulonuwun ke rumah sobat juga sering error Page Load Error, Conection Interrupted, dan Address Not Found. Maklumlah, saya hanya pakai Modem USB CDMA, dengan berlangganan paket pulsa pasca bayar. Padahal tagihannya naik lebih 100 %, sayang lama-lama pelayananannya sering mengecewakan.


Kadang-kadang hanya bisa buka email aja, tapi tidak bisa membalas. Atau hanya buka blog saja, tapi update gagal terus. Baru seminggu kemarin lumayan normal, tapi sayangnya karena ada kegiatan kampung bertempat di rumah saya, atau menghadiri hajatan rekan, jarang sekali saya bisa online. Mudah-mudahan dengan posting saya kali ini, bisa menebus kekecewaan mbak Reni dan Mbak Fanda. Harap maklum ya mbak...


Dan seperti biasa award-award yang lain, juga dibarengi dengan PR dan harus diestafetkan ke yang lainnya. Tapi untuk yang kedua kalinya saya minta maaf pada yang empunya award ini, saya keluar dari aturan yang ada karena saya tidak ingin terlalu membebani sahabat-sahabat saya dengan PR-PR itu. Seperti yang saya lakukan dengan murid-murid saya. Meski saya guru saya jarang membebani murid-murid saya dengan PR. Kalau yang ini bukan karena khawatir membebani murid saya (karena merupakan salah satu tugas mereka), tapi lebih karena sering sekali yang mengerjakan PR ya anak-anak itu saja, lainnya hanya copy paste milik temannya yang rajin sebelum pelajaran dimulai.


Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mbak Reni dan mbak Fanda, saya ingin persembahkan award ini buat sahabat-sahabat yang berkunjung di blog ini. Bagi yang belum punya koleksi awardnya silahkan diambil, bagi yang sudah ada di koleksinya tidak masalah. Yang jelas ini tanda persahabatan dari seorang guru yang ingin selalu belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Aset yang Terabaikan

IPENDIDIKAN KARAKTER YANG MAKIN TEREDUKSI

You lose your wealth, you lose nothing

You lose your health, you lose something

You lose your character, you lose everything

Kalimat-kalimat dalam ‘The Nightmare of Loosing’, Lukisan karya A.D. Pirous;

dikutip I Gede Raka


Tidak ada yang memungkiri bahwa pendidikan sangat berperan penting terhadap pembentukan karakter suatu bangsa. Termasuk bangsa kita, yang pada hari ini hampir setiap institusi yang berkaitan dengan pendidikan mengadakan “ritual tahunan” yaitu upacara bendera. Upacara untuk memperingati hari bersejarah bagi dunia pendidikan di Indonesia yang semakin jauh dari tujuan mulia pendidikan itu sendiri, karena lebih banyak hanya membuat slogan dan simbol-simbol, tapi jauh dari implementasi riil. Sampai saat ini pendidikan kita masih memprihatinkan dan masih berkutat pada permasalahan internal seperti profesionalisme pendidika, sistem yang lemah, dan justru semakin menjauhkan dari nilai-nilai luhur bangsa yang sebenarnya merupakan aset yang tak ternilai untuk kemajuan itu sendiri.


Sebagai contoh permasalahan di kalangan pendidik. Program sertifikasi guru yang diharapkan mampu mengangkat citra dan profesionalisme pendidik, justru semakin membuat pendidik menghalalkan segala cara dan saling sikut untuk bisa ikut sertifikasi lebih awal. Memalsukan dokumen dan meninggalkan tugas mengajar untuk mengejar sertifikat sepertinya hal yang jamak dilakukan guru era sertifikasi ini. Apalagi kalau bukan tujuan kesejahteraan (duit). Tujuan profesional yang diharapkan justru tersingkirkan. Selain itu juga semakin menyingkirkan jiwa-jiwa guru yang penuh tauladan. Hingga mereka yang tidak lolos sertifikasi pun, tanpa rasa malu melakukan “demo” menuntut agar diluluskan semua. Toh bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka yang telah mendapat sertifikat pendidik, tidak banyak mengupdate dirinya, tidak ada yang berubah dari cara mengajarnya yang konvensional, tetapi justru pola hidupnya yang semakin konsumtif. Sehingga ada sindiran yang sempat dilontarkan seorang konsultan pendidikan di Jakarta bahwa “guru batuk saja menuntut bayaran”. Hal tersebut tidak lepas dari pengambilan kebijakan yang keliru.


Sistem pendidikan saat ini terasa menjadi alat ”penyandera” anak didik, karena padatnya kurikulum, kurang memberi ruang bagi anak untuk belajar mengenal diri dan lingkungannya. Anak menjadi ”bank” tempat ”menabung kumpulan soal-soal yang harus siap diambil saat ulangan. Pendidikan hanya transfer ilmu pengetahuan saja tetapi semakin mereduksi pembudayaan dan pembentukan karakter bangsa. Sekarang jarang sekali dijumpai pendidikan yang meningkatkan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang mengajarkan: integritas, kejujuran, kepedulian, komitmen, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan. Anak selalu didorong untuk memiliki kemampuan yang seragam, yang mereduksi nilai-nilai budi pekerti dan pluralitas (keragaman) sehingga menghasilkan bangsa yang sulit menghargai perbedaan.


Hasil reformasi justru membuat pendidikan makin terpuruk. Otonomi daerah menjadikan kebijakan pendidikan semakin membingungkan dan kacau karena banyak ditangani “raja-raja kecil” yaitu kepala daerah yang kadang menjadikan pendidikan untuk mempertahankan kekuasaan. Misalnya rekruitmen tenaga pendidik dan kepala sekolah yang asal-asalan. Perubahan kurikulum yang memberikan otonomi pada satuan pendidikan justru membingungkan praktisi pendidikan (guru), karena paradigma guru sulit berubah. Ujung-ujungnya mengalami siswa yang menjadi korban. Tak heran pendidikan tidak bisa menghasilkan output yang mampu mengatasi masalah bangsa, justru semakin terjerumus semakin dalam. Saat ini justru perilaku siswa yang semakin tidak terkendali. Siswa semakin kurang sopan, tidak hormat kepada orang tua, maupun guru. Toleransi dan kepedulian juga semakin hilang.


Kebijakan yang ada juga semakin membuat siswa “lemot” dalam hal tanggungjawab, integrtas dan daya juang. Sebagai contoh kebijakan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan menimbulkan berbagai kecurangan yang dilakukan oknum pejabat dan guru dengan dalih “membantu siswa”. Hal ini justru membuat siswa semakin tak berdaya dan tidak punya inisiatif dan tanggungjawab terhadap diri sendiri. Anak-anak sekarang cenderung malas belajar dan masa bodoh, karena selama ini anak di sekolah terbiasa ”diberi” bukan menemukan sendiri.


Hal inilah yang mengindikasikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami pergeseran dari cita-cita luhurnya. Pendidikan semakin jauh dari nilai-nilai filosofis. Pada intinya pendidikan yang hanya menghasilkan manusia intelektual yang “buta hati” dan kering dari nilai-nilai moralitas dan etika. Oleh karena itu sebagai pendidik mudah-mudahan kita mampu mengembalikan pendidikan kepada kittahnya (meminjam istilalah yang sering digunakan pak Sawali). Pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa yang luhur sejak dini. Yang berarti membangun sifat/perilaku yang didasari dimensi moral yang positif (baik), untuk membangun kehidupan yang baik, bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsa. Pendidikan yang tidak hanya menekankan output dan mengabaikan proses. Pendidikan yang tidak hanya mengutamakan hapalan pengetahuan di otak kiri, tapi juga mengintegrasikan nilai-nilai agama, moral, estetika, dan sikap-sikap positif lainnya. Intinya pendidikan harus mampu menumbuhkan IQ, EQ dan SQ peserta didik secara seimbang.

Siapa yang mau peduli….?

Mari kita mulai dari diri kita sendiri.