"Amandemen" Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

GURU ERA KINI:

“PEMBANGUN INSAN CENDEKIA”


Hampir semua orang, mungkin tidak asing dengan syair lagu Himne Guru di mana salah satu liriknya menjadi “ikon” tentang guru yang sangat fenomenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Sampai sekarangpun mungkin “ikon” tersebut masih sangat melekat di benak masyarakat kita.

Meski lagu tersebut sering saya nyanyikan dan akrab di telinga saya sejak kecil. Namun saya sendiri baru tahu bahwa penciptanya adalah seorang guru di SMP Purna Karya (yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus Madiun). Beliau adalah Pak Sartono yang lahir di Madiun tanggal 29 Mei 73 tahun silam.

Lagu yang sampai sekarang sangat fenomenal itu ternyata tidak membuat serta merta nasib nasib penciptanya beruntung, karena dari masa tugasnya tahun 1978 sampai masa “pensiunnya” 2002 silam masih berstatus guru honorer. Minimnya perhatian dari pemerintah membuktikan bahwa memang “sang pahlawan” adalah benar-benar “tanpa tanda jasa”

Saat ini meski ikon tersebut masih sering dilekatkan pada profesi guru, namun pemerintah telah memikirkan “tanda jasa” untuk para guru. Terbukti diberlakukannya Undang-Undang Guru dan Dosen, yang disahkan 6 Desember 2005. Meski dinilai banyak kalangan mendikotomi guru PNS dan guru Swasta namun pemerintah sudah mulai berupaya mengatur segala sesuatu mengenai guru dan dosen termasuk balas jasa, kesejahteraan sosial dan bagaimana kriteria guru dan dosen yang profesional. Salah satu gebrakan yang sangat penting adalah SERTIFIKASI GURU.

Seiring meningkatnya perhatian pemerintah banyak kalangan menilai salah satu kalimat dalam lirik lagu Himne Guru yaitu PAHLAWAN TANPA TANDA JASA tersebut dipandang tidak lagi relevan dengan profesi guru saat ini. Mungkin seperti halnya UUD 1945, lirik dalam lagu tersebut juga perlu “diamandemen”

Profesi guru diharapkan tidak lagi termarginalkan karena tugas guru amatlah berat yaitu mencerdaskan anak bangsa. Oleh karena itu guru sudah selayaknya diberikan balas jasa karena guru adalah pekerjaan mulia dan penerang dalam kegelapan sehinngga tidak cukup dengan ucapan terima kasih.

Saya sendiri baru tahu bahwa lirik lagu tersebut diubah pada saat mengikuti Lomba Kebehasilan Guru (LKG) 2008 di Jakarta. Waktu itu menjelang siaran langsung “on air” untuk pengumuman pemenang 1 Desember 2009 Pukul 17.00 di TVRI. Sebelum syuting dimulai para peserta yang terdiri dari Finalis LKG dan para pemenang lomba yang diselenggarakan Depdiknas, berlatih agar ketika di”syut” nanti terlihat kompak. Maklum pengumuman itu sendiri disiarkan secara langsung dan dihadiri oleh Mendiknas Bambang Sudibyo dan istri, juga pejabat-pejabat Depdiknas lainnya.

Ketika menyanyikan pertama kali banyak Bapak/Ibu Guru mengakhiri syairnya dengan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA (termasuk saya). Karena banyak yang belum paham akan perubahan yang ada akhirnya dirigen menyampaikan bahwa kalimat TANPA TANDA JASA diganti menjadi MEMBANGUN INSAN CENDEKIA.

Namun ketika lirik itu dinyanyikan memang banyak teman-teman yang merasa bahwa kalimat itu tidak enak dilafalkan. Baru keesokan harinya (2 Desember 2008) menjelang upacara Puncak Hari Guru di Lapangan Tenis Indoor Senayan, ketika menunggu Presiden SBY tim paduan suara yang terdiri dari siswa-siswa SMP di Jakarta (di antara mereka ada peserta Idola Cilik RCTI), menyanyikan lagu tersebut barulah enak di dengar, ternyata perubahan bukan menjadi MEMBANGUN tetapi PEMBANGUN. Syair yang berbunyi:

ENGKAU PATRIOT PAHLAWAN BANGSA

TANPA TANDA JASA

menjadi

ENGKAU PATRIOT PAHLAWAN BANGSA

PEMBANGUN INSAN CENDEKIA

Sebagai guru, penulis berharap agar perubahan “ikon” tersebut semoga tidak semata-mata dimaknai guru sebagai perubahan nasib berkaitan kesejahteraan finansial saja tetapi juga diikuti komitmen guru untuk berusaha meningkatkan kompetensi diri. Peningkatan kompetensi diri juga harus selalu diikuti dengan perubahan pola pikir dan usaha untuk selalu menjadi guru yang pembelajar yang peduli pada siswa. Bukan selalu menuntut dan menuntut “tanda jasa” (kesejahteraan) tetapi tidak mengimbangi diri dengan kemampuan professional yang memadai.

Kepada Bapak/Ibu Guru mari membangun (pendidikan dengan tulus ikhlas. Insyaallah setiap usaha yang kita lakukan akan mendapatkan “BALAS JASA” yang setimpal dari Alloh SWT bukan mengharapkan “kesejahteraan” dari pemerintah saja.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

jangan pandang tandanya bu atik, tapi pandang jasanya...itulah guru...
tanpa di gaji pun mereka mau

MATHSUGIYANTA mengatakan...

Kita sebagai guru perlu bertanya dan menengok pada diri sendiri " Apakah kita sudah pantas menjadi pahlawan pendidik insan cendekia?" Gelar pahlawan sebaiknya JANGAN DICARI tetapi akan lebih NIKMAT jika itu adalah PEMBERIAN. Pendidikan Indonesia perlu Guru Profesional MURNI 100% dan IKHLAS.

Mulyati mengatakan...

MEmang bener Bapak-Bapak jadi guru itu mestinya ikhlas, tapi sayang kok sekarang banyak guru yang sudah luntur "keikhlasannya". Semoga kita tidak termasuk kelompok ini. Mudah-mudahan...
Terimakasih atas kunjungannya.

Eling_Sembhada mengatakan...

guru juga manusia, yang butuh makan dan memberi makan. Bahkan sekarng guru lebih sibuk menyiapkan porto polio daripada menyipakan trick" baru untuk para anak didiknya...Guru lebih mengejar Income untuk bisa menopang hidupnya, karena sekarang banyak guru yang lebih mementingkan bekerja daripada mengajar, membimbing dan mengasuh. Jadi saya pikir para guru tidak perlu RIBUT atau MERIBUTKAN soal pahlawan jasa atau tanpa jasa, maukah Para guru itu bekerja(mengajar, membimbing dan mengasuh)tanpa di bayar??? MUSTAHIL....Intinya para guru hendaklah bisa melihat kenyataan atau tidak munafik atas apa yang dihadapinya...YA BEKERJA, YA MENGAJAR, YA MENDIDIK, YA MENGASUH SEMAKSIMAL MUNGKIN TANPA PERLU MEMPERMASALHKAN GELAR PAHLAWAN TANPA TANDA JAHASA....I LOVE ALL OF MY TEACHER....