Sudut-sudut Kongruen......????



Sudut kok kongruen satu sama lain… Apa bukan bangun yang kongruen…? Itulah pertama kali yang muncul di pikiran saya ketika akan menyusun Handout materi Kesebangunan dan Kongruensi. Istilah tentang SUDUT-SUDUT YANG KONGRUEN sendiri saya temukan ketika saya membaca buku Geometri terbitan Glencoe (yang telah saya singgung di posting sebelumnya).

Selama ini dalam pembelajaran kesebangunan dan kongruensi guru selalu dinyatakan bahwa pasangan sudut-sudut yang bersesuaian adalah sama besar dan dilambangkan dengan tanda =. Semua buku dari penerbit Indonesia memang tidak pernah menyebut istilah sudut-sudut kongruen, tetapi sudut-sudut sama besar.

Menurut pemahaman saya dari beberapa literatur tersebut memang ada penjelasan bahwa sudut yang kongruen, didefinisikan sebagai sudut-sudut yang sama besar. Hanya permasalahan ini kok tidak pernah disinggung baik oleh dosen saya dulu atau sampai sekarang. Dan menurut saya konsepnya sudah rancu secara turun temurun.

Bahkan ketika saya bertanya kepada rekan-rekan guru juga baru mendengar istilah sudut-sudut yang kongruen ketika saya menanyakan. Sebenarnya saya ingin menanyakan ketika kuliah, namun saya waktu itu tidak berani karena jangan-jangan pemahaman saya keliru (maklum pemahaman bahasa inggris saya minim…). Jangan-jangan lagi “dikerdilkan” oleh dosen.

Terus penasaran, akhirnya saya bertanya kepada Bp Fadjar Shadiq (Instruktur P4TK Matematika) Pertanyaan saya tersebut saya posting pada blog beliau tanggal 29 Januari 2009 berikut, dan berikut jawaban beliau pada 30 Januari 2009.

Untuk Ibu Mulyati, memang dalam literatur/buku Geometri terbitan luar negeri ada yang menggunakan istilah sudut kongruen (dengan lambang “kongruen”). Ya benar juga bahwa di Indonesia, digunakan notasi atau lambang “=”. Saya sependapat dengan Ibu bahwa sudut yang kongruen itu adalah sudut yang sama besar. Memang di dalam Matematika ada istilah Fakta atau kesepakatan.

Contohnya:


Saya pikir tidak akan rancu jika kita konsisten untuk menggunakan notasi yang dipilih. Akan rancu jika istilah yang digunakan berubah-ubah. Ya benar kita sudah sepakat untuk begitu. Istilah Ibu sudah terlanjur turun-temurun. Kalu diubah-ubah dan tidak konsisten malah akan kacau. Kecuali kita sepakat untuk mengubahnya.




4 komentar:

Achmad Agus S, S.Pd. mengatakan...

dengan kata lain, mungkin hakim tertinggi untuk menentukan benar dan salah dalam matematika adalah struktur matematika yang berlaku di lingkungannya. apa gitu ya bumul ?.

Mulyati mengatakan...

Mungkin juga benar gitu pak. Tapi dulu di Indonesia siapa yang membuat kesepakatan ya... Apa mbahnya mbah buyut kita yang ahli matemaika ya...?

Tinta Printer mengatakan...

Di mana bisa cari soal2 geometri untuk latihan ?

أحمد هاشم الأشعري mengatakan...

wah baru denger th v hebat bener y Matematika th. . . @