TIDAK MAU KALAH DENGAN MIE

PTK PUN BISA DIPESAN ISTAN

Bulan ini mungkin menjadikan bulan tersibuk bagi sebagian guru, karena bulan ini sebagian besar guru mendapat panggilan sertifikasi jalur portofolio tahun 2009. Meski sudah bukan barang baru, sertifikasi menjadi topik yang tak pernah usang dan tetap saja membuat banyak guru yang mendapat jatah tahun ini kebingungan. Saya jadi teringat beberapa penggalan kalimat geguritan Susilowati S Harjono yang pernah saya posting di blog saya. Sertifikasi telah membuat guru “Obahe kaya mili kenter, kaya ora keduman, sapa kanca sapa lawan”. Sertifikasi sudah membuat “guru-guru padha mbingungi, adhem panas rina wengi”.

Benar apa yang digambarkan oleh geguritan itu, sertifikasi telah membuat guru-guru sibuk ke sana kemari. Bukan saja guru yang telah mendapat giliran, tetapi juga semakin membuat gusar mereka yang belum mendapat giliran. Apalagi dengan adaya Peraturan Pemerintah (PP) 74 tahun 2008, yang mengakomodasi guru-guru yang belum S1 berumur lebih 50 tahun dan masa kerja lebih dari 20 tahun untuk ikut sertifikasi. Hal ini banyak menyebabkan guru-guru yang sudah merasa S1 tergeser dengan rekannya, karena kuota yang ada jatuh pada guru-guru tersebut.

Meski secara lahir mereka berusaha menutupi kegusaran mereka. “Ah, Saya santai saja, kapan-kapan. Ndak pa pa…”. Namun jelas dari perilakunya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya juga ingin segera mendapatkannya. Nyatanya juga banyak yang menggerutu, “Pak Ini Sudah, Bu ini sudah sedangkan saya kok belum padahal jadi gurunya duluan saya”.

Yang dapat giliranpun tidak kalah heboh. Sibuk ke sana ke mari. Sudah hal biasa juga ketika para guru rela meninggalkan tugas mengajar karena sibuk melengkapi dokumen portofolionya. Dan rasanya kecurangan demi kecurangan dan tindakan kurang terpuji sudah hal biasa dilakukan sebagian rekan-rekan guru hanya untuk melengkapi dokumen portofolionya. Meski di antara mereka masih ada yang menjunjung tinggi idealisme dan kejujuran namun rasanya pada satu sekolah bisa dihitung dengan jari.

Salah satu kecurangan yang sering dilakukan adalah pada poin pengembangan profesi. Juga bukan barang baru jika guru-guru yang pasif asal mengajar dan diam saja tahu-tahu berkas setifikasi setumpuk berisi sertifikat-sertifikat pelatihan dan karya ilmiah penelitian. Tidak kalah dengan mie, sertifikat dan hasil penelitian pun saat ini dapat dipesan secara instan.

Sekarang ini banyak lembaga termasuk PT Swasta dan Kaki Lima yang di era sertifikasi ini mengaku peduli dengan guru, bisa menyediakan berbagai keperluan sertifikat tersebut. Ibarat gayung bersambut, animo guru tidak makin berkurang. Meski semakin lama semakin mahal tetap saja banyak diminati. Entah mengikuti kegiatan secara kebetulan atau hanya titip identitas dan uang sertifikat bisa langsung di terima, tanpa si guru datang.

Meski budaya instan di masyarakat sudah lumrah, namun di kalangan guru baru menggejala dan terus mewabah bak virus di era sertifikasi ini. Dan ternyata iming-iming tunjangan satu kali gaji sudah meracuni mental guru, yang digugu dan ditiru. Banyak guru ternyata juga mendidik dirinya menyukai yang serba instan, tidak perlu susah payah, dengan sekali kerja yang penting tunjangan segera cair. Mungkin di antara mereka sudah lupa, bahwa tiap hari mereka selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk tidak malas dan rajin belajar agar memperoleh prestasi bagus.

Bukan hanya sertifikat yang bisa diperoleh secepat kilat, karya ilmiah hasil penelitian pun sekarang bisa dipesan secara instan. Jangankan sekedar karya ilmiah dokumen (pustaka), jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pun bisa diperoleh dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa perlu melakukan tindakan apapun. Banyak guru tanpa rasa bersalah dan malu bisa pesan penelitian di mana saja dan kapan saja. Ibarat menjahitkan baju, mereka bisa memesan sebuah penelitian satu minggu, 2 hari, atau bisa saja langsung beli datang tinggal pilih.

Sepertinya sekarang ini jual beli penelitian tidak hanya di kalangan mahasiswa saja tetapi masuk ke ranah guru. Dan ternyata ada gula ada semut, banyak guru yang merasa mampu dengan hanya sedikit pengetahuan penelitian menyediakan jasa pesanan ini, yang sangat diminati guru. Mereka tanpa modal buku referensi, hanya modal koleksi beberapa penelitian, otak-atik sedikit, copy paste, bisa langsung terjual laris manis.

Saya pernah juga mendapat “order” dari seorang rekan. “Bu saya bisa nggak dibuatkan PTK”. Ketika saya jawab: “Saya nggak pernah membuatkan PTK atau penelitian bu, teman-teman yang ke saya itu biasanya sudah punya ide dan konsep, minta bimbingan. PTK itu harus dilakukan sendiri. Ibu, coba punya ide dan tindakan apa, nanti saya bantu kasih masukan”. Beliau malah menjawab: “Teman saya guru mapel X bisa pesan, 2 minggu jadi 4 lho bu”. Akhirnya saya jawab juga: “Ya, silahkan pesan aja ke temannya bu, siapa tahu seminggu bisa lima”. Akhirnya telponnya ditutup.

Pengalaman lain, saya punya kenalan seorang Kepala Sekolah di lain Kota. Ketika beliau berdiskusi tentang pengolahan data di rumahbeliau pernah nyeletuk. “Mbak, penjenengan mbok kaya anak buahku itu lho, pinter nggawe PTK, laris banget (Kacang goreng kali ….). Dua tahun sudah bisa beli kijang”. Saya jawab: “Kalau saya mau, mungkin tidak hanya bisa beli kijang pak, tapi beli harimau”….

Saya pernah berkenalan juga dengan seorang sopir taksi, lulusan sebuah akademi swasta 1 tahun yang lalu. Mengeluh cari kerja yang sesuai susah. Cerita ngalor ngidul, setelah si sopir tahu saya guru akhirnya dengan bangga menceritakan bapaknya yang guru IPA. Selama 2 tahun sejak gaung sertifikasi didengungkan, sudah berhasil membuatkan berkas sertifikasi (penelitian) puluhan judul. “Lumayan lho bu, lebih besar dibanding gaji Bapak” Sampai bisa membiayai kuliah dia di akademi selama 2 tahun terakhir… Saya hanya berpikir dalam hati. Barangkali, karena Bapaknya dapat biaya kuliah dari cara-cara yang salah, tidak berkah bagi keluarganya. Anaknya susah dapat kerjaan hingga harus jadi sopir taksi.

Barangkali pengalaman saya, hanya secuil potret perilaku sebagian kecil guru saat ini. Saya masih optimis banyak rekan-rekan guru yang masih menjujung tinggi etika keguruan dan idealisme. Dan semoga harapan yang dicanangkan pada upacara puncak peringatan Hari Guru 2008 di Lapangan Tennis Indoor Senayan (2 Desember 2008) yang pernah saya ikuti dapat terwujud. Guru Profesional, Sejahtera, Bermartabat dan Terlindungi. Bukan guru yang menuntut sejahtera dengan cara-cara yang tidak bermartabat.

NB: Tulisan ini hanyalah bahan refleksi saya atau buat rekan-rekan guru lain yang masih peduli terhadap mulianya profesi guru. Kalau dibilang nyindir, ya bolehlah. Bukankah tunggal guru tidak boleh saling mengganggu tapi sesama guru wajib saling mengingatkan satu sama lain.

19 komentar:

Fanda mengatakan...

Wah jaman sekarang apa ya yg ga di-instankan? Pdhal semua prestasi hrs melalui proses. Lagian, apa artinya keberhasilan yg tanpa proses? Justru dgn proses yg panjang dan melelahkan, trus kita sukses, kesuksesan itu jauh lebih bermakna. Teruslah berjuang dan berkarya, mbak!

Seti@wan Dirgant@Ra mengatakan...

Salut untuk mabk Atik, kita memang wajib saling mengingatkan, Aku salah satu korban pergeseran umur loh mbak.... jadinya saya belon sibuk taun ini... Sertifikasi di cancel taun depan.

sawali tuhusetya mengatakan...

wah, sebuah tulisan reflektif utk menggambarkan betapa perilaku kalangan rekan sejawat sendiri masih abai terhadap nilai2 kejujuran. bagaimana nasib pendidikan kita ya, bu, utk bikin PTK saja ndadakke. ironisnya, mereka yang menolak utk tdk mau membuatkan PTK atau penelitian lain dibilang sok idealis. duh, repot juga. saya jadi inget beberapa tahun... Baca Selengkapnya yang lalu, banyak calon sarjana pendidikan yang gemrudug datang ke rumah. mereka dg amat sangat meminta saya utk membuat rancangan skripsi dan laporannya dg imbalan sekian juta. ini sebuah fakta. karena saya tak mau, dg halus saya jawab kalau saya bukan tukang sripsi. kalau mau diskusi oke. hanya itu jawaban saya, sejak saat itu. tak ada lagi calon SPd yang ngejar2 saya, wakakaka ....

ali mengatakan...

masya alloh, moga hari esok lebih baik ya....

suryaden mengatakan...

kehidupan dan tantangan memang harus dihadapi meski dengan jalan yang berliku, semoga meski harus begitu tidak menurunkan semangat untuk berprestasi dan memberikan yang terbaik bagi anak didik, dan pendidikan itu sendiri

Mulyati mengatakan...

@Fanda: Betul mbak, memang dengan jerih payah dan keringat rasanya rejeki yang kita peroleh lebih nikmat.
@Seti@wan: Meski belum ikutan, saya yakin Bang Iwan bukan salah satu guru yang saya maksud
@Sawali:Andai saja banyak guru yang masih punya idealisme kayak Pak Wali...
@بوو:Amiin mas, terimakasih atas doanya
@suryaden:terimakasih atas apresiasinya mas

Anak Nelayan mengatakan...

tetep semangat yaa ibu guru..salam

Anonim mengatakan...

Guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa, jasa guru sekarang ini diukur dari sertifikasi., sertifikasi ukurannya PP diplesetkan (Penyesuaian Penghasilan/Pendidikan) hal tersebut sudah bukan menjadi rahasia umum. Banyak guru sekarang menjadi guru bukan karena panggilan jiwa, namun panggilan penghidupan. Keyakinan saya masih banyak guru yang punya KASIH (Knowlage, Attitude, Skill, Integrity & Heart), sepanjang Guru masih seperti matahari dan bulan yang berjalan di Orbitnya, Beruntung bagi yang mensucikanya, merugi bagi yang mengotorinya. Sebuah tulisan dapat merubah sejarah, sebuah ungkapan dapat menjadi berkah dan musibah. Semoga semua guru menjadi teladan dalam kehidupan sesungguhnya, tapi manusia cuma berusahakan mbak atik.
Ujungpandang, Mei 2009 cah ndeso.

Mulyati mengatakan...

@anak nelayan: makasi ya apresiasinya..
@anonim: sebuah ungkapan yang sangat mencerahkan, terimakasih atas doanya, semoga harapan guru yang mempunyai KASIH dapat terwujud. Amien.

Sunardi mengatakan...

Memang msh sangat lankga cari guru yang kreatif dengan idenya sendiri

Admin mengatakan...

Jangankan PTK, Karya Tulis.
Ijazah SD sampai S3 bisa.

Inilah Indonesia, Negeri Hebat dengan sejuta magisnya.

Mulyati mengatakan...

@Sunardi: itulah pak ... rekan-rekan kita, semoga kita tidak masuk di dalamnya...
@Ari: Nah tuul mas Ari... makanya meski ijazah s2 s3 tapi pola pikirnya ... tahu sendirilah

reni mengatakan...

Ternyata suatu kebijakan bisa berdampak seperti itu ya ?
Betapa "keras"nya perjuangan seseorang untuk dapat meningkatkan penghasilannya, sampai-2 segala cara dihalalkan.
Semoga saja semangat utk mengajar dan mencerdaskan putra bangsa sama "keras"nya dengan perjuangannya meningkatkan penghasilan.
Mbak..., semangat utk terus berjuang dan berkarya ya ...!!

Anonim mengatakan...

Ya emang yu, jaman gini sih maunya dapat untung tanpa mo susah payah apalagi berpikir ilmiah. Banyak kok agen penyedia jasa Pembohongan Tuk Kenaikan(PTK)pangkat.Gimana ni, kalo pelaku pendidikan aja bertindak begitu, bagaimana hasil yang ditanamkan utk peserta didiknya ? Mungkin sekarang belon tampak, tapi pada masa akan datang, hasil akhir itu akan muncul pada kondisi bangsa ini khan ?

arumsekartaji mengatakan...

Masalah sertifikasi guru saya tidak begitu paham mbak? Mengingat saya sendiri juga punya kakak yang sama-sama mengajar di SMA Kudus dan Matesih Karanganyar pernah bercerita bagaimana proses belajar saat ini.
Saya hanya bisa menghimbau bahwa profesi guru adalah mulia. Menghantarkan anak didik menuju cita-cita mulia dalam mengarungi hidup ini dengan terlebih dulu belajar, bekerja dan bersosialisasi di masyarakat luas setelah mendapat pekerjaan sebagai modal dasar selepas kuliah/sekolah.

dadot mengatakan...

Ha..ha..ha.. Guru2 ternyata kali ini nyontek cara licik maha siswanya, ga malu tuh kalo sampai di anggap gak kreatif, ga bisa nyari cara lain buat bisa lulus.

Tapi gimana pendidikan bisa maju kalau muridnya dibimbing oleh guru ga berkualitas. Kalo di SmaZaPo mungkin dah didemo dan diminta mundur ama murid2 yg kritis.

Semoga Diknas baca fakta beginian. Nice Posting

Dr. Jero mengatakan...

penelitian (PTK), karya ilmiah yang melekat erat dengan identitas Guru. Karya ini tentunya memiliki makna seandainya benar-benar dilakukan di kelas dengan melihat permasalah2 yang ada. Jika dilakukan hanya sebagai penelitian di atas meja yang miskin literatur, tentunya akan mudah untuk dideteksi dan tidak akan memiliki makna.
Walaupun pada kenyataannya banyak terjadi analisis data "dalam tanda kutip", tentu PTK yang benar-benar PTK akan memberikan kebangaan tersendiri bagi pelakunya.
Saya berharap, ada banyak guru yang bersedia untuk meluangkan tulisan ibu yang luar biasa ini
Salam

Mulyati mengatakan...

@Jero: Setuju sekali mas... kenikmatan kita dalam menghasilkan karya adalah ketika kita menciptakan karya tersebut dengan usaha dan kerja keras, penuh kejujuran dan ketika usaha kita diapresiasi orang lain.
Terimaksh ya

fajarmufti mengatakan...

bu mulyati lha..kalo gurunya seperti itu nah bagaimana dengan anak didiknya ya bu....padahal sepengetahuan saya yang awam akan pendidikan guru itu tugasnya tidak hanya sekedar mengajar tapi juga sebagai seorang pendidik muridnya....